"Saat di titik ingin menyerah, saya berpikir untuk apa di sini? Ada rasa cemburu melihat teman-teman berkarya di luar, tampil cantik, sudah mapan, sedangkan saya kerjanya panas-panasan, tidak kenal waktu, pemasukan tidak jelas. Akan tetapi pada titik itu ternyata ada orang-orang yang sangat bersyukur memiliki saya."
"Betapa bersyukurnya ada Ibu Dinny di sini. Coba kalau Ibu Dinny tidak ada, kami tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan kami."
"Mendengar itu rasanya luar biasa, Mbak. Ternyata saya se-berguna itu", kenang Theresia Dwiaudina Sari Putri, pejuang kesehatan dari wilayah timur Indonesia.
***
Dinny membawa vaksin carrier keliling kampung.
Seorang perempuan berkacamata nampak datang mengenakan topi, sepatu berwarna putih, dan membawa tas dibahunya yang berisi vaksin. Dinny, sapaan akrabnya, baru saja tiba di sebuah kampung terpencil dengan mengendarai sepeda motor. Ia disambut senyum rekah yang terpancar dari wajah mama-mama dan sedikit tangisan anak-anak yang takut ditusuk jarum suntik.
Setiap hari Dinny keliling ke lima anak kampung untuk memberikan pelayanan kesehatan. Tak jarang ia harus membelah hutan, menyusuri jalan bebatuan, jalan yang licin karena hujan, atau melewati derasnya air sungai untuk menjalankan tugas sebagai bidan di Desa Uzuzozo, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.
Uzuzozo merupakan salah satu desa terluar di wilayah barat Kabupaten Ende yang memiliki segudang masalah kesehatan. Kuatnya tradisi yang dipegang masyarakat setempat membuat berbagai masalah kesehatan dianggap sebagai sesuatu yang lazim, tanpa perlu adanya penanganan.
Kehadiran Dinny pada akhirnya berhasil membuka perspektif baru tentang kesehatan serta memberi secercah harapan untuk peningkatan kualitas kesehatan.
Potret Kesehatan Desa Uzuzozo
Ketimpangan jumlah tenaga kesehatan di Indonesia, terutama wilayah timur bukanlah rahasia. Akses yang sulit, terbatasnya sarana prasarana, hingga upah minim menyebabkan kesenjangan distribusi tenaga kesehatan.
Saat Dinny pertama kali datang ke Uzuzozo pada 2017, ia merupakan tenaga kesehatan pertama di desa tersebut. Uzuzozo juga menjadi tempat pertama bagi Dinny dalam melakukan praktik pelayanan kesehatan setelah menyelesaikan pendidikan diploma kebidanan pada 2016.
Sesampainya di Uzuzozo, Dinny langsung memetakan permasalahan kesehatan yang ada. Pendataan agak sulit karena datanya tidak diturunkan. Semua benar-benar di mulai dari nol. Beberapa cakupan masalah kesehatan ditemukan meliputi kesehatan ibu hamil, anak-anak, remaja, lansia, hingga minimnya jambanisasi.
Dinny bersama lansia di Desa Uzuzozo
"Pertama kali saya turun ke desa banyak masalah kesehatan ibu dan anak seperti persalinan hampir semua dilakukan di rumah dan ditolong dukun, banyak ibu hamil tidak memeriksakan kehamilannya, dan anak-anak tidak mendapatkan pelayanan kesehatan seperti imunisasi serta penjadwalan posyandu," terangnya.
"Selain itu, para remaja tidak mendapat tablet tambah darah. Perilaku jambanisasi juga masih minim. Tercatat dari 204 keluarga, hanya sekitar 15 keluarga yang memiliki jamban. Padahal itu berpengaruh terhadap stunting," imbunya.
Dinny menemukan ada 15 anak yang menderita stunting. Setelah ia amati, ternyata penyebab sunting di Uzuzozo adalah pola asuh yang kurang tepat, tidak adanya imunisasi, gizi tidak terpenuhi, ibu hamil tidak memeriksakan kandungannya ke fasilitas kesehatan, pengobatan masih tradisional, hingga kebiasaan buang air besar di sungai.
Lalu, bagaimana dengan sarana prasarana kesehatan di sana?
Pada 2017 Desa Uzuzozo sudah memiliki bangunan Poskesdes (Pos Kesehatan Desa). Sayangnya, bangunan tersebut berada di tengah hutan, tidak ada rumah warga sama sekali di sekitarnya. Air dan listrik tidak tersedia. Karena jauh dari pemukiman warga, Dinny akhirnya memilih untuk melakukan pelayanan dengan cara jemput bola, dari satu rumah ke rumah lain.
Gambaran jarak antar kampung di Uzuzozo.
Setiap harinya, perempuan kelahiran 1996 ini tinggal di rumahnya, di Desa Kekandere. Mengapa tidak menetap di satu kampung di Uzuzozo? Karena Uzuzozo memiliki lima kampung yang jaraknya saling berjauhan. Kebetulan, rumahnya berada di tengah antar kampung tersebut jadi lebih mudah.
Pertama kali melakukan praktik pelayanan kesehatan Dinny menggunakan peralatan seadanya yang ia miliki. "Awal saya tiba tidak ada sarana prasarana sama sekali. Saya hanya pakai alat yang dipakai untuk kuliah seperti alat tensi. Beberapa ada yang dibeli sendiri tapi itu dipakai untuk keliling tiap kampung. Jadi lima anak kampung dikelilingi satu alat. Memang agak repot, ya, dibawa ke mana-mana," kenang Dinny.
Tidak jarang alat yang digunakan jatuh sampai rusak. Terkadang Dinny juga meminjam peralatan dari Puskesmas. Berangsur-angsur dana desa setiap tahun mampu memenuhi kebutuhan kesehatan. Dinny pun meminta alat pemeriksaan HB, alat cek kolesterol, dan asam urat, agar masyarakat tidak perlu pergi jauh ke Puskesmas serta mengeluarkan banyak biaya.
Jalan Terjal Beri Pelayanan Kesehatan di Kampung Kuat Tradisi
Dinny merupakan warga asli Ende yang memutuskan untuk kuliah kebidanan di Surabaya. Karena resah dengan kondisi kesehatan di sekitar tempat lahirnya, maka setelah lulus ia memilih untuk kembali ke kampung halaman.
Beruntung keinginannya untuk berkarya di kampung di sambut hangat oleh Kepala Desa Uzuzozo yang sedang kebingunan mencari tenaga kesehatan. Keadaan geografis yang sangat sulit membuat beberapa tenaga kesehatan enggan mengabdi di Uzuzozo.
Melewati sungai menggunakan sepeda motor untuk melakukan pelayanan kesehatan.
Pada 2017 kondisi jalan masih berupa jalan setapak yang dibuka untuk orang pergi ke kebun. Akses transportasi tidak memadai. Saat cuaca bagus jalan dapat dilalui sepeda motor. Tapi ketika musim hujan harus jalan kaki karena licin. Sinyal belum ada. Jarak kampung ke fasilitas kesehatan terdekat yaitu Puskesmas sekitar 1-2 jam, tergantung letak kampung dan cuaca saat itu. Desa ini juga diapit oleh sungai. Sehingga saat air sedang naik, nyawa menjadi taruhannya.
Kondisi tersebut tak sedikitpun membuat Dinny gentar. Perempuan yang saat itu masih berusia 21 tahun berani mengambil kesempatan untuk menjadi tenaga kesehatan pertama di Uzuzozo.
Lalu, seperti apa reaksi masyarakat saat pertama kali Dinny datang?
Dinny mengalami penolakan. Mereka ragu ada seorang gadis muda yang belum menikah mau masuk ke lingkungan keluarga. "Memangnya sudah pernah melahirkan sampai ngatur-ngatur kami?" Begitu kira-kira reaksi warga.
Kehadiran Dinny memang membuat masyakarat kaget dan perlu penyesuaian. Tidak heran karena sebelumnya mereka tidak mengenal tenaga kesehatan. Ketika sakit atau melahirkan, mereka enggan pergi ke Puskesmas. Salah satu penyebabnya faktor ekonomi. Hampir semua masyarakat Uzuzozo berprofesi sebagai petani. Mereka menanam cokelat, cengkeh, kelapa, hingga vanili. Hasil dari kebun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dinny masuk dengan membawa berbagai program dan kebijakan terkait kesehatan. Awalnya terasa sulit karena kuatnya tradisi yang dipegang masyarakat.
Menempelkan stiker P4K
Pernah suatu ketika Dinny menempelkan stiker Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) di rumah ibu hamil, lalu diprotes oleh pemilik rumah. Bagi masyarakat setempat, kehamilan harus dirahasiakan.
"Karena sebelumnya tidak ada tenaga medis, jadi (masyarakat) belum tahu ada program ibu hamil yang diketahui dari penempelan stiker P4K di pintu. Pertama kerja memang diprotes. Mereka memiliki kepercayaan kalau kehamilan diketahui semua malah kenapa-napa ibu hamilnya. Katanya jadi diketahui setan juga," ucap Dinny dalam wawancara via telepon.
Dinny mengatakan bahwa ia merespon apa yang menjadi kepercayaan masyarakat ini dengan sedikit ancaman. "Ya sudah kalau nanti setannya baca direkam saja, kirim ke saya. Nanti kalau misalnya setan tidak tahu baca, baru saya ajarin. Tapi beneran rekam, ya, setannya yang baca. Kalau diambil anaknya saya yang tanggung jawab," kenang Dinny sambil tertawa.
Selain itu, Dinny juga harus berhadapan dengan mama-mama dukun. Mereka merasa terancam kehilangan pekerjaan karena kehadirannya. Pelan-pelan ia melakukan pendekatan. Tidak mungkin datang langsung menggeser apa yang sudah mama dukun lakukan sebelumnya.
Pendekatan yang dilakukan adalah berupa edukasi. Dinny datang ke rumah mama dukun membawa sirih pinang sambil tanya-tanya tentang desa. Ia juga menjelaskan kepada mama-mama dukun tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kalau mereka sakit, Dinny beri obat sambil membisikkan bujuk rayu. "Kurang-kurangi, ya, tindakan pijat dan urutnya. Kalau boleh atas seizin saya," bisik Dinny kepada mama dukun.
"Jadi sekarang mama dukun melakukan tindakan atas seizin saya. Puji Tuhan kami sekarang bestie-an. Misal ada ibu hamil di mana, mama dukun kasih tahu," imbuhnya.
Pada beberapa momen Dinny memang sempat mengalami ketegangan dengan masyarakat. Tetapi ia memiliki prinsip, agar programnya diterima, maka antara teori yang ia ketahui dengan kepercayaan masyarakat harus disatukan. Jalan berdampingan antara sains dan kebudayaan tanpa menyakiti satu sama lain. Selama tidak mengganggu medis, akan Dinny izinkan.
"Misalnya urut. Urut itu kan yang tidak diperbolehkan kalau diurut perutnya. Jadi misal mereka sugestinya masih percaya sekali dengan dukun, saya izinkan urut pinggangnya," terang Dinny.
Dinny memberikan vitamin kepada balita.
Jalan terjal lain yang harus dilalui adalah ketika ada orang tua yang tidak mengizinkan anaknya diimunisasi. Sebelumnya, anak-anak di Uzuzozo memang tidak mendapatkan palayanan tersebut. Para orang tua terkejut Dinny datang membawa jarum untuk disuntikkan ke anaknya. Efek demam dari imunisasi membuat mereka takut.
Kalau di Pulau Jawa orang tua dengan kesadaran penuh membawa anaknya ke Puskesmas untuk imunisasi. Di Uzuzozo, meski Dinny sudah datang dari rumah ke rumah, ia masih mengalami penolakan. Dinny harus merayu dan mencari cara agar terjadi kesepakatan.
Lalu timbul pertanyaan dari orang tua sang anak, apakah boleh jarumnya setelah dipakai menyuntik diminta untuk ditancapkan di pohon? Mereka memiliki kepercayaan apabila jarum tersebut ditancapkan di pohon yang berair, demam anaknya akan berkurang karena air dari pohon tersebut menjalar ke tubuh si anak. Dinny pun mengizinkannya.
"Tidak apa dobel kerja yang penting saya di terima. Jadi setelah suntik anaknya, jarumnya saya kasih ke orang tuanya, orang tuanya menancapkan ke pohon pisang. Sebelum balik dari kampung itu, saya cabut lagi jarumnya supaya tidak digunakan untuk bermain anak-anak," ungkap Dinny.
Melebur Demi Melanjutkan Program hingga Kebijakan Brutal
Masuk ke sebuah desa sebagai orang baru yang mengenalkan program kesehatan cukup membuat Dinny kewalahan. Hal-hal baru harus masyarakat terima di tengah kurangnya pengetahuan karena sebagian besar tidak menempuh pendidikan SD.
Melakukan kegiatan di SD.
Dinny akhirnya memilih untuk melebur demi melanjutkan program kesehatan di sana. Ia masuk ke segala aspek kehidupan masyarakat. Entah itu di sekolah menjadi tenaga pengajar, menjadi pengurus gereja, atau ikut kegiatan remaja. Dinny selalu mencari celah untuk melakukan pendekatan ke semua kalangan usia.
Dinny bekerja di bawah naungan Pemerintah Desa Uzuzozo dan Puskesmas. Kedua instansi tersebut paham betul bahwa pekerjaannya penuh perjuangan. Oleh sebab itu, ia diberi wewenang seluas-luasnya terkait kebijakan yang diambil selama itu baik.
Beberapa kebijakan yang menurut Dinny brutal antara lain ia bekerja sama dengan pemerintah desa untuk membuat peraturan yaitu denda sebesar 2 juta bagi ibu yang melahirkan bayinya di dukun. Karena lebih mahal, tentu saja akhirnya para ibu hamil mau melahirkan di fasilitas kesehatan, atau di rumah tapi dalam pendampingan Dinny.
Lalu, untuk mendorong perilaku jambanisasi, Dinny juga membuat aturan bagi penerima BLT. Apabila rumah mereka belum memiliki jamban, maka pencairan BLT dibatasi. Atau bagi anak-anak yang menerima bantuan stunting tapi malas pergi posyandu, bantuan tersebut akan dicabut dan tidak dilakukan pelayanan kesehatan.
Kalau masih ada yang ngeyel bagaimana? Dinny menyimpan nomor telepon Pak Camat atau Pak Kapolsek untuk jaga-jaga ketika pikiran sudah buntu tapi ada pasien yang tidak nurut. "Biasanya saya pura-pura telepon polisi kalau ada yang tidak manut. Mereka takut diancam dengan lintas sektor yang lebih tinggi," ungkap Dinny.
Masyarakat yang sudah bersedia menerima pelayanan kesehatan juga dimintai tolong oleh Dinny untuk memberikan testimoni. "Setiap pasien yang menerima layanan kesehatan saya minta testimoni. Misalnya ada ibu yang punya tujuh anak. Enam lahir di dukun dan yang terakhir dibawa ke faskes. Pulang coba cerita ke ibu-ibu yang lain. Enak mana melahirkan di dukun sama di faskes?" ucapnya.
Mereka pun merasakan bahwa melahirkan di fasilitas kesehatan benar-benar diperhatikan. Kesterilan dijaga, pencegahan infeksi bagi ibu hamil dan anaknya juga ada.
Cara-cara tersebut dilakukan Dinny menyesuaikan dengan karakter masyarakat di sana. Semua dilakukan dengan tujuan agar program-program kesehatan tetap berjalan.
"Saya tipe orang yang tidak mau menyerah terhadap keadaan. Keadaan yang dimaksud tuh gini. Saya pulang dari menempuh pendidikan, tidak mungkin harus mengalah dengan orang yang belum tahu ilmunya. Lumrah jika masyarakat masih mempertahakan apa yang mereka percayai. Saya berusaha sebisa mungkin cari rasionalnya biar bisa saling terima," jawab Dinny ketika ditanya alasan tetap bertahan.
Tidak Mudah, Tapi Berubah
Perjalanan Dinny merawat kesehatan di kampung halaman tentu saja tidak mudah. Ia harus siap sedia selama 24 jam di tengah kondisi geografis yang sulit. "Misalnya tengah malam banget ada yang membutuhkan, ya, berangkat. Kadang ada juga persalinan tengah malam di jalan, di sungai, di mobil pick up," ucapnya.
Pelayanan kesehatan di tengah jalan.
Dinny pernah berada pada fase ingin menyerah dan mengutarakan keinginannya untuk mengundurkan diri kepada Kepala Desa Uzuzozo saat itu. Dinny kemudian diberi seekor anjing sebagai pengikat agar tidak meninggalkan desa. Kebetulan ia sangat menyukai anjing.
"Dek, karena dana desa belum keluar, bawa anjing dulu ya," ucap Kepala Desa Uzuzozo saat itu.
Anjing tersebut sekaligus menjadi gaji pertama bagi Dinny. Ia memang bekerja di bawah pemerintah desa dan digaji menggunakan dana desa yang turunnya setiap enam bulan atau satu tahun sekali.
"Puji Tuhan 7 tahun memang tidak mudah, tetapi berubah. Karena sebelum saya sampai di desa itu, hampir semua persalinan di rumah dan ditolong dukun. Pelan-pelan diubah. Saat ini sudah tidak ada lagi yang bersalin di rumah. Kalaupun bersalin di rumah tapi mereka sudah ada hasrat untuk ke faskes. Tidak sedikit juga persalinan yang dilakukan dalam perjalanan tapi sudah dalam pendampingan saya," terang Dinny.
Beberapa persalinan yang terpaksa masih dilakukan di rumah dengan pendampingan Dinny biasanya disebabkan faktor alam. Curah hujan yang tinggi tidak memungkinkan untuk berangkat ke fasilitas kesehatan menyeberangi sungai.
Setiap tahun Dinny mendampingi 12-15 ibu melahirkan. Bersyukur selama Dinny berkarya di Uzuzozo, belum ada kasus kematian ibu dan bayi.
Terkait dengan imunisasi, sebelum Dinny datang anak-anak tidak mendapat penanganan karena jauh dari faskes dan orang tua belum mendapatkan edukasi. Saat ini imunisasi dan pemberian vitamin sudah rutin dilakukan. Imunisasi rutin adalah bentuk pencegahan penyakit-penyakit yang berindikasi ke stunting.
Farel ketika diberi imunisasi.
Dalam instagram pribadinya, Dinny membagikan cerita seorang anak bernama Farel yang saat balita selalu drama ketika akan diimunisasi. Farel harus dipegang paksa sehingga efeknya tambah sakit. Ketika Farel sudah SD dan harus diberi imunisasi, Dinny putar otak mencari rayuan. Ia mengatakan bahwa suntikkan ini dapat membuat lengan Farel lebih kebal dan kekar. Kalau dipukul tidak akan sakit. Tanpa drama, Farel langsung bersedia di suntik. Video cerita Farel ini Dinny simpan dan ia tunjukkan ke anak lain yang takut disuntik. Tujuannya untuk memberikan edukasi bahwa setelah suntik Farel baik-baik saja.
Apalagi hal-hal yang berubah? Ya, jambanisasi. Perilaku Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di Uzuzozo sebelumnya masih carut-marut. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, masyarakat buang air besar di sungai. Untuk mengatasi hal tersebut, Dinny bekerja sama dengan lintas sektor untuk membuat jamban dengan dana bantuan dari pemerintah.
Perawatan kesehatan yang dilakukan sejak 2017 tanpa Dinny sadari ternyata adalah bentuk pencegahan terjadinya stunting. Menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI), prevalensi stunting di NTT pada 2023 berada di angka 37,9 persen, atau tertinggi kedua di Indonesia. Ini menjadi dilema karena NTT memiliki pasokan hasil bumi yang melimpah.
Meski kaya akan sumber daya alam, tanpa pemantauan dan perawatan kesehatan stunting bisa saja terjadi. Saat pertama Dinny datang ke Uzuzozo ada 15 anak yang menderita stunting. Pada 2023 terjadi penurunan hingga 80 persen atau hanya tinggal 3 anak saja.
Penurunan angka stunting berkat adanya kesadaran masyarakat untuk memeriksakan kehamilannya secara rutin. Hal tersebut sangat berpengaruh karena pencegahan stunting lebih mudah daripada pengobatan.
"Ibu hamil sudah diperiksa, mendapatkan obat, di deteksi kalau misalnya kekurangan energi dan bisa menimbulkan stunting, maka dilakukan pemberian makanan tambahan. Dari rumah sakit ada bantuan USG dan cek laboratorium. Jadi ibu hamil di bawa ke sana. Itu semua bekerja sama dengan lintas sektor. Ada bantuan-bantuan yang diturunkan ke desa," papar Dinny.
Bayi di Uzuzozo juga sudah dipantau tumbuh kembangnya, imunisasi sudah rutin, sudah ada perilaku jambanisasi, serta adanya pelarangan merokok.
Selain hal-hal di atas, faktor penurunan stunting juga dipengaruhi oleh perubahan pola asuh orang tua. "Kalau di timur anak malas makan orang tua membiarkan. Karena pekerjaan utama bertani maka seharian di kebun. Anaknya cuma dititipkan sehingga lupa makan atau memberi makan tidak tepat waktu. Perhatian pemberian makan ke anak masih lemah saat itu," terangnya.
Dinny pun memberikan edukasi ke orang tua agar praktik pemberian makan lebih tepat waktu dan berikan asupan gizi yang cukup pada anak. Jangan asal banyak dikasih tapi gizinya tidak mencukupi.
Dinny mengukur tinggi badan saat posyandu.
Guna membantu pemenuhan gizi pada anak, setiap bulan saat posyandu Dinny memberi bantuan berupa susu dan telur untuk memenuhi asupan protein hewani. Dana desa yang tidak bisa keluar setiap bulan harus diakali dengan utang ke warung. Kolaborasi menjadi jalan keluar keberlanjutan.
"Agar program tetap berjalan, kami kerja sama dengan toko yang punya pasokan susu dan makanan. Nanti kalau dana desa cair baru dibayar. Yang penting bantuannya tetap masuk rutin setiap bulan," ucap Dinny.
Kegiatan posyandu dibantu oleh kader desa berjumlah 10 orang, 8 perempuan dan 2 laki-laki. Kehadiran kader laki-laki jarang ditemui di tempat lain. Ini adalah bukti bahwa kesehatan dan tumbuh kembang anak sejatinya tanggung jawab kedua orang tua, bukan hanya ibu saja.
Merawat Kesehatan Secara Umum
Fokus utama Dinny sebagai bidan adalah merawat kesehatan ibu dan anak. Akan tetapi, karena menjadi satu-satunya tenaga kesehatan di Uzuzozo, maka ia menangani semua masalah kesehatan.
Dinny melakukan sosialisasi saat posyandu lansia.
Selain posyandu balita, setiap bulan Dinny juga mengadakan posyandu lansia. Senam menjadi daya tarik bagi lansia untuk datang ke posyandu. Kegiatan ini sekaligus menjadi salah satu bagian dari aktivitas fisik dalam penerapan gaya hidup CERDIK.
"Ada hal baru yang mereka (lansia) peroleh meskipun sering aktivitas fisik seperti jemur hasil bumi atau kasih makan babi. Setelah senam kami melakukan tensi, timbang berat badan, dan makan kacang. Jadi dalam satu bulan ada hari di mana mereka tidak perlu aktivitas di kebun," ungkap Dinny.
Salah satu lansia bernama Opa Zera selalu beralasan agar tidak ikut posyandu. Ketika sakit pun tidak pernah mau diperiksa.
"Cuma pilek sedikit, bentar juga hilang."
"Terlalu capek, nanti kalau sudah istirahat pasti baik lagi."
"Kami dulu kalau sakit minum daun ini saja sembuh."
Dinny memeriksa Opa Zera
Begitu kira-kira seribu alasan yang terucap untuk menghindar dari pemeriksaan. Namun, pada suatu waktu Opa Zera akhirnya menyerah. Opa memanggil Dinny ke rumahnya untuk melakukan pemeriksaan. Beliau menunggu kehadiran Dinny di depan pintu dan bersedia minum obat.
Beruntung pemerintah menaruh perhatian lebih kepada masyarakat Uzuzozo. Sebagian besar sudah memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS) sehingga obat yang diterima pasien bisa dibayar menggunakan kartu tersebut.
"Mereka yang punya KIS, bayar pakai KIS. Kalau tidak punya bayar pakai hasil buminya. Pakai sayur, pakai beras. Apa saja yang dikasih saya terima. Karena obatnya kan berasal dari Puskesmas, jadi bayar pakai KIS," ucap Dinny.
Ada seorang janda pekerja keras yang tinggal sendiri di kampung Ndetukedho, Bibi Ewo namanya. Kakinya sakit terkena gigitan anjing. Ia mencoba mengobati kakinya dengan obat yang diramu sendiri. Bukannya lembuh, lukanya justru infeksi. Akhirnya, untuk pertama kali Bibi Ewo memeriksakan kesehatannya ke Dinny.
"Ternyata periksa tidak se-menakutkan yang saya bayangkan," ucap Bibi Ewo.
Bibi Ewo memberi Dinny seekor ayam.
Setiap kunjungan Dinny diberi telur ayam. Ketika lukanya sembuh, Bibi Ewo memberi seekor ayam untuk Dinny. Ada juga masyarakat yang memberi kayu bakar, pohon cabai, dan bibit pala. Pulang dari Uzuzozo, ada saja barang yang ia bawa di motornya.
Berkat dari Tuhan
7 tahun berkarya di kampung Dinny merasa banyak sekali berkat yang diberikan oleh Tuhan. Beberapa kali ingin menyerah, tapi Dinny kembali lagi. Meski kerjanya harus di bawah terik matahari dan derasnya hujan, Dinny tidak pernah sakit. Kecelakaan pun tidak pernah, padahal medan jalannya sulit.
"Saya hidupnya merasa sangat didoakan dan terbekati. Sampai suatu momen di mana ada seorang Imam pingsan di daerah saya dan saya tolong," kenang Dinny.
Karena sudah ditolong Imam tersebut mendoakan kebaikan untuk Dinny. "Siapapun yang tolong saya hari ini Tuhan, apapun yang menjadi keinginannya, tolong dikabulkan dan diberkati," ucap sang Imam.
Dinny menerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2023.
"Nah waktu kemarin saya terima Astra itu, saya kan kaget, maksudnya sejak kapan sih anak kampung punya mimpi dapat apresiasi, malah tidak pernah ada bayangan," ungkap Dinny.
Imam yang Dinny tolong kembali menguatkannya. "Ini baru dari saya yang omong kaya begitu. Bayangkan semua orang yang kau tolong itu omong yang sama, doa yang sama. Kau pantas dapat itu," kata sang Imam meyakinkan.
Dinny pun tersadar bahwa pekerjaan atau keadaan yang terkadang ia keluhkan, jika tetap bersabar dan berusaha, Tuhan akan kasih hadiah indah pada akhirnya. Ya, Dinny mendapatkan apresiasi SATU Indonesia Awards dari Astra di Bidang Kesehatan pada 2023. Mimpinya untuk bisa menginjakkan kaki di Jakarta pun tercapai.
"Jadi apapun yang dikerjakan, selama itu baik maka beri habis, jangan setengah-setengah. Berkat dari Tuhan akan datang tanpa kita duga," ungkapnya.
Setelah menerima apresiasi Dinny kembali ke Uzuzozo. Ia membantu persalinan seorang ibu. Seperti yang disampaikan pada paragraf pembuka tulisan ini, bahwa masyarakat sangat bersyukur atas kehadiharan Dinny di tengah-tengah mereka. Dinny pun sering diminta untuk memberi nama pada anak-anak yang dibantu kelahirannya. Alhasil, pulang dari menerima apresiasi, Dinny memberi nama anak yang lahir tersebut "Astra".
Berkat yang Tuhan beri tidak berhenti sampai di sana. Dinny yang memiliki cita-cita untuk berkarya di komunitas lebih besar berhasil mendapatkan beasiswa dari LPDP untuk melanjutkan pendidikan S-2. Hampir dua tahun Dinny bergelut dengan izin dari masyarakat untuk bisa sekolah lagi. Akhirnya kemarin masyarakat sudah merelakan.
Ketika akan berangkat, Dinny harus pamit ke setiap kampung. "Waktu itu bikin acara kecil-kecilan. Kami makan-makan dan ada sedikit acara kampung. Saya dikasih uang berangkat untuk beli makan, diberi ucapan selamat, dan didoakan," ucapnya.
Tak lupa, Dinny juga menyampaikan rasa terima kasih kepada masyarakat yang telah membawanya pada titik ini. "Terima kasih tak terbatas. Karena mereka yang membentuk saya jadi begini. Bukan saya yang mengubah mereka tapi mereka yang punya andil besar dengan apa yang saya miliki hari ini. Apa yang sudah saya beri semoga menjadi pedoman, bisa dijadikan acuan untuk perubahan-perubahan baik mereka. Semoga mereka juga sehat-sehat, tetap saling mendoakan dan saling bertemu. Puji Tuhan dari cerita Uzuzozo yang kecil ini akan membuat cerita besar dikemudian hari," ucap Dinny haru.
Dinny bermimpi suatu saat bisa membuat jejak perjuangan di tempat yang lebih besar. Ia berharap dapat menyusun kebijakan yang bisa diimplementasikan di kampung. Menurut Dinny banyak kebijakan yang didasarkan pada kota-kota besar, tetapi ketika diimplementasikan ke tempat-tempat terpencil berbeda. Jadi harus ada perhatian lebih lagi, entah itu kesejahteraan masyarakatnya, atau tenaga kesehatan di desa.
Berkarya dari tempat kecil membuat Dinny sering menerima pertanyaan 'memang akan berubah lebih banyak?'. Bagi Dinny, sekecil apapun perubahan itu, jika ada 1.000 orang yang bergerak melakukan hal sama, maka akan ada 1.000 desa yang berubah.
***
Referensi
Wawancara by telepon dengan Theresia Dwiaudina Sari Putri.
Instagram Theresia Dwiaudia Sari Putri (https://instagram.com/dwiaudn/)
Video YouTube Channel SATU Indonesia: Bincang Inspiratif 15th SATU Indonesia Awards 2024 - Sumba (https://www.youtube.com/live/-7AQ5k4GBd8?si=jvt4EbT6DDCzbH2e)
Live instagram @jurnalisme.id: Digitalisasi Desa Wisata hingga Turunkan Angka Stunting di Desa (https://www.instagram.com/reel/DBYyALHyFhG/?igsh=MW9kbGcycGc0aDhhbw==)
Danur Lambang Pristiandaru. Lestari Kompas. 2024. 10 Provinsi dengan Prevalensi Stunting Tertinggi. (https://lestari.kompas.com/read/2024/05/09/170000786/10-provinsi-dengan-prevalensi-stunting-tertinggi-2023)
7 Komentar
Salut dengan perjuangan Dinny sebagai orang baru yang mengenalkan program kesehatan di desa terpencil seperti Uzuzozo. Perjuangannya memang gak sia-sia, ya, pelayanan kesehatan dan kesadaran masyarakatnya tentang kesehatan makin meningkat.
BalasHapusMelihat dedikasinya untuk kesehatan masyarakat khususnya di desa terpencil membuat saya ingin juga berkontribusi deh untuk masyarakat, semoga suatu hari nanti semakin banyak ya Dinny Dinny yang lain untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat khususnya di desa terpencil ya.. semangat selalu Dinny
BalasHapusPerjuangan kak Dinny luar biasa, dengan dedikasinya hadir posyandu di sana, sehingga warga setempat bisa memahami lagi tentang kesehatan diri
BalasHapusMental baja ya mbak Dinny, tidak takut untuk terus mengedukasi masyarakat meski ditolak sana sini. Dia sanggup menggabungkan ilmu yang dimilikinya dengan tradisi yang diyakini oleh masyarakat Uzuzozo. Senang deh akhirnya masyarakat setempat bersedia nurut kepada arahan mbak Dinny.
BalasHapusTugas berat sosok nakes, mbak Dinny terhadap masyarakat Desa Uzuzozo.
BalasHapusTernyata yang namanya kesehatan ini dimulai dari lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan semua kudu bersinergi bersama agar memberikan efek yang bagus juga untuk tumbuh kembang anak.
Dan mitos-mitos seputar kehamilan ini memang selalu kontradiktif dengan ilmu kesehatan.
Makanya sering banget orangtua jaman dulu marah-marah kalo dibantah. Tapi dengan kecerdasan mbak Dinny, maka pendekatan dengan masyarakat Desa Uzuzozo bisa terbangun dengan baik.
berkat kerja kerasnya dan tidak pantang menyerah, semua berbuah manis ya
BalasHapusberuntung banget Desa Uzuzozo masih punya Mbak Dinny ini, kesehatan masyarakat desa perlahan menjadi lebih baik sekarang dan mereka juga jadi mulai sadar akan pentingnya pemeriksaan kesehatan ya, terutama untuk Ibu hamil, anak-anak dan juga para lansia.
Luar biasa perjuangan Ibu Dini menjadi Kader Kesehatan. Sebagai KSH saya merasakan bagaimana tanggung jawab Nakes di sana yang terjun ke lapisan paling bawah. Nakes Puskesmas di Surabaya aja berat apalagi daerah pedalaman. Stunting, duh kasus ini makin banyak ternyata
BalasHapus