Menghidupkan Pengetahuan dan Impian Anak-Anak Papua Selatan

"Hal sederhana ketika mereka bisa menyebutkan A-Z dengan lantang, tidak gemetar dan malu, itu berkat luar biasa bagi kami bertiga." 
Diana Cristiana Da Costa Ati, Pengabdi Pendidikan di Pelosok Papua Selatan

***

SDN Atti
Siswa SD Negeri Atti duduk di kelas.  (Dokumentasi: Google Maps SD Negeri Atti oleh akun Guru Penggerak Pedalaman Papua)

Pagi itu, sayup-sayup suara terdengar dari balik bangunan sekolah tanpa papan nama. Saat melihat ke dalam ruangan, nampak anak-anak duduk rapi beralaskan lantai semen dan mengenakan pakaian sehari-hari. Mereka dikelilingi meja tanpa kursi yang berjejer di kanan kiri. Dalam ruang kelas sederhana dengan plafon yang tidak utuh lagi, anak-anak dengan lantang bernyanyi.

"Tanah Papua tanah yang kaya. Surga kecil jatuh ke bumi. Seluas tanah, sebanyak madu, adalah harta harapan." Sepenggal lirik yang menggambarkan kesenjangan antara kekayaan sumber daya alam Papua dengan realita pendidikan di sana.

Minimnya sarana dan prasarana menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di daerah terpencil seperti Mappi. Anak-anak yang buta huruf dan putus sekolah lumrah ditemui. Akses menuju tempat mengajar sulit dan memakan banyak biaya sehingga hanya sedikit guru yang mau mengabdikan diri. 

Kondisi pendidikan di Papua yang serba tertinggal membuat perempuan asal Atambua, Nusa Tenggara Timur, Diana Cristiana Da Costa Ati, mengambil pilihan menjadi Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) di Kampung Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua Selatan.


Kenapa Mappi?

Selepas lulus kuliah pada Desember 2017, Diana tidak langsung mengabdi ke Mappi. Ia sempat membantu ibunya berjualan hingga Agustus 2018. Setelah itu, Diana baru memperoleh informasi adanya pendaftaran Guru Penggerak Daerah Terpencil. 

GPDT merupakan program kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Mappi dengan Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Pusat Pengembangan Kapasitas dan Kerja Sama (PPKK) Fisipol UGM. Program ini hadir karena minimnya jumlah tenaga pendidik. Bupati Mappi periode 2017-2022 dan 2025-2030, Kristosimus Yohanes Agawemu, ingin menuntaskan buta huruf di Kota Sejuta Rawa. Oleh sebab itu, para guru yang direkrut sebagian besar di tempatkan di sekolah dasar.

SDN Atti
Guru dan siswa SD Negeri Atti foto bersama di depan kelas.  (Dokumentasi: Google Maps SD Negeri Atti oleh akun Guru Penggerak Pedalaman Papua)

Oktober 2018 perjalanan pengabdian Diana dimulai. Perempuan kelahiran Timor Leste tersebut memilih ke Mappi karena di sana kekurangan guru. Baginya, mengajar di pedalaman adalah pengalaman menantang.

"Saya tertarik mengajar ke daerah timur khususnya Papua. Papua lebih membutuhkan guru untuk ke pedalaman. Aksesnya kan susah ditempuh. Berbanding jauh dengan NTT, sebagian masih bisa ditempuh pakai kendaraan umum," ucap Diana saat diwawancara via telepon.

Pada 2018 Diana ditempatkan di Kampung Kaibusene, Distrik Haju, Kabupaten Mappi. Ia mengajar selama 2 tahun di Kaibusene. Diana sempat pulang ke NTT saat pandemi, lalu kembali ke Mappi pada April 2021 untuk menandatangani kontrak kerja di tempat baru yaitu Kampung Atti, Distrik Minyamur.


Wajah Pendidikan Kampung Atti

Diana bersama dua rekannya yaitu Fransiska Erlyansi Bere (Icha) dan Oktofianus Halla (Vian), tiba di Kampung Atti pada April 2021. Dari luar, bangunan sekolah SD Negeri Atti nampak berdiri kokoh meski tanpa papan nama. Kegiatan belajar mengajar (KBM) yang sempat terhenti selama kurang lebih satu tahun akibat pandemi, membuat rumput ilalang di sekitar sekolah tumbuh tinggi.

SD Negeri Atti dan rumah guru bersebelahan. (Dokumentasi: Instagram @hall_viann)

Satu-satunya SD di Kampung Atti ini hanya memiliki 3 ruang kelas. Meja belajar jumlahnya sangat terbatas. Apalagi kursi. Banyak yang hilang entah ke mana. Beberapa rusak termakan usia. Atap plafon yang tidak utuh lagi menandankan prasarana sekolah jauh dari kata layak. Tidak adanya perpustakaan dan toilet menunjukkan bahwa kondisi pendidikan di daerah pedalaman membutuhkan lebih banyak perhatian.

Sarana yang digunakan tidak jauh berbeda. "Buku tulis siswa hanya ada satu yang dipakai untuk semua pelajaran. Papan tulis kurang layak, sering kehabisan tinta spidol, dan juga minimnya sarana pembelajaran yang mendukung aktivias belajar mengajar kami," terang Diana pada sesi live Instagram bersama cantikadotcom.

Lalu, bagaimana dengan kemampuan para siswa? Diana mengungkapkan bahwa kemampuan siswa SD Negeri Atti masih tertinggal. "Kualitas pendidikan dibuktikan dengan kemampuan calistung siswa yang masih jauh dari kata bisa," ucapnya.

"Mereka sebenarnya sudah ada dasarnya sedikit. Tetapi karena sempat berhenti setahun tidak ada proses KBM, anak-anak lupa. Kami mulai dari awal lagi. Tapi kelas 5 dan 6 ada dasar-dasarnya sedikit," imbuh Diana. 

SDN Atti
Diana dan anak didiknya. (Dokumentasi pribadi Diana)

Usia anak-anak di SD Negeri Atti mayoritas adalah usia SMP bahkan SMA. Mereka terpaksa masih duduk di bangku SD karena belum lancar membaca, menulis, dan berhitung. Keterbatasan anak-anak bukan hanya soal calistung. Mereka juga belum tahu lagu-lagu nasional.

Bersama dua rekannya, Diana pelan-pelan mengajarkan calistung, pengetahuan umum, dan nasionalisme. Mereka bertekad untuk menghidupkan pengetahuan dan impian anak-anak Kampung Atti.


Melintasi Rawa, Menyibak Hutan Sunyi

Perjalanan Diana bersama dua koleganya untuk sampai di Kampung Atti atau sebaliknya tidak mudah. Dari Kota Kepi, Diana dkk. menaiki kendaraan roda empat, dilanjutkan dengan naik perahu kecil (ketinting). Setelah itu perjalanan ditempuh dengan jalan kaki melintasi rawa dan hutan. 

SDN Atti
Jembatan kayu di Kampung Atti. (Dokumentasi: YouTube "Guru Penggerak Pedalaman Papua")

Diana dkk. biasanya pergi ke Kota Kepi sebulan sekali untuk membeli kebutuhan sehari-hari maupun perlengkapan belajar mengajar. Mereka berangkat dari rumah sebelum matahari terbit. Perjalanan dimulai dari menyusuri jalan setapak di tengah hutan. Kemudian, melintasi jembatan sederhana di atas rawa yang terbuat dari kayu sepanjang 215 meter.

Selanjutnya, mereka kembali melewati hutan dan rawa. Tetapi kali ini rawa tersebut tidak memiliki jembatan. Jika musim hujan, air cukup tinggi sehingga baju basah seperti habis berenang.

Hutan kembali mereka susuri, lalu bertemu dengan jembatan kedua yang ternyata sudah hancur. Jadi, ya, terpaksa nyebur lagi ke rawa. Dibantu oleh seorang Mama, Diana nampak sangat hati-hati melewati rawa tersebut. Setelah berhasil sampai di ujung dengan susah payah, Vianrekan Dianameledeknya. "Kau kembali ambil kau pu tas dulu," ucap Vian sambil tertawa.

Kampung Atti
Diana dibantu Mama menyeberangi jembatan yang hancur. (Dokumentasi: YouTube "Guru Penggerak Pedalaman Papua")

Mereka akhirnya sampai di Kampung Kaumi. Mama-mama yang sedang duduk santai di depan rumah menyapa Diana dkk. 

"Selamat pagi," teriak Mama dari kejauhan.

"Pagiiiii. Pele berenang. Basah semua," curhat Diana ke para Mama.

"Kita pu jembatan su hancur. Kita terus (jalan) dulu Mama," imbuh Vian.

Setelah berjalan menyusuri Kampung Kaumi dan menyapa beberapa warga, mereka akhirnya sampai pelabuhan untuk melanjutkan perjalanan menaiki ketinting. Dari Kampung Atti menuju Kaumi Diana dkk. membutuhkan waktu 1-2 jam. Tergantung cuaca dan kecepatan kaki.

Lalu, dari Kampung Kaumi ke pelabuhan di Kampung Agham perjalanan ditempuh sekitar 2 jam saat musim hujan, atau sekitar 4 jam ketika kemarau. Baru selanjutnya naik ojek atau mobil ke kota dengan waktu tempuh 30 menit.

Pernah suatu hari ketika Diana dkk. sampai di Kampung Kaumi, ketinting yang mereka naiki hanya memiliki 4 liter bahan bakar. Padahal, dibutuhkan 5 liter untuk sampai di Kampung Agham. Rencananya tambahan bahan bakar akan dibeli di kampung yang dilewati. Sesampainya di Kampung Koba, stok bensin yang dijual ternyata habis. Perjalanan pun dilanjutkan dengan memperlambat ketinting agar tidak kehabisan bensin. Untungnya, di kampung berikutnya yaitu Kampung Ima, tambahan bensin berhasil didapatkan. 

Karena sempat memperlambat ketinting, Diana dkk. tiba di Kampung Agham terlalu siang. Mobil pick-up yang biasa ditumpangi sudah berangkat ke kota. Mereka memutuskan untuk menumpang truk yang lewat. Supir mengatakan truk tidak sampai kota. Para guru muda ini pun turun di tengah perjalanan dan berjalan kaki sambil menunggu mobil lewat. Setelah berjalan selama 15 menit di bawah terik matahari, akhirnya ada truk menuju kota yang melintas. Mereka menumpang truk tersebut dan sampai di kota dalam kondisi kelelahan serta sangat lapar. 

Hal-hal tak terduga memang kadang mereka alami. Paling sering Diana dkk. menjumpai ular berbisa di tengah perjalanan. "Binatang sering melintas di depan kami, tapi tidak sampai melukai. Kami percaya kata orang sana selagi niatnya baik, tidak akan terjadi apa-apa," ungkapnya.


Memulai dari Mengubah Pola Pikir

Diana mengungkapkan, tantangan paling sulit menjadi guru di daerah pedalaman adalah mengubah pola pikir orang tua siswa. Kebanyakan mereka masih menganggap sekolah tidak penting. Lebih baik anak bekerja. Kurangnya dukungan dari orang tua membuat banyak anak putus sekolah.

"Mereka memotong logika berpikir pendidikan bahwa akhir dari sebuah proses pendidikan adalah bekerja untuk makan. Jadi tanpa bersekolah pun, mereka tetap bisa makan," ungkapnya.

Diana setuju dengan pemikiran bahwa menempuh pendidikan setinggi apapun pada akhirnya akan bekerja untuk makan. Nah, yang membedakan adalah jenis pekerjaannya. Dengan bersekolah bisa membuat kehidupan jadi lebih baik. Pendidikan dapat menyelamatkan masa depan. 

"Memang yang Bapa Mama katakan itu betul. Tapi, ketika kita ingin menjadi seorang bupati, menteri, presiden, polisi, tentara, semua itu bisa didapat melalui pendidikan," kenang Diana saat menyakinkan para orang tua.

Menurut Diana, meskipun gratis para orang tua tidak mau anaknya sekolah karena mereka tidak diajarkan bercita-cita. Bapa pergi ke hutan cari kayu gaharu atau berburu. Mama pergi ke rawa pancing ikan atau ke kebun petik sayuran. Begitu saja hidup dalam angan para orang tua.

Guru SDN Atti
Icha, Vian, dan Diana. (Dokumentasi: Instagram @gurupenggerakpedalamanpapua)

Diana bersama dua rekannya terus berupaya menumbuhkan motivasi orang tua bahwa pendidikan sangat penting. Perempuan kelahiran 1996 itu selalu berpesan kalau kehadiran mereka di Kampung Atti tidak lebih hanya ingin melihat adik-adik kelak bisa seperti Bapak Ibu Guru.   

"Cara kami dengan bersosialisasi. Pada sore hari kalau ke jembatan pelabuhan, kami secara alami bercerita  pengalaman-pengalaman. Di gereja menghimbau agar Mama Bapa tidak membawa anak-anak ke hutan, supaya anak tetap sekolah," terang Diana.

Memang awalnya sulit. Diana dkk. memberi penawaran kepada para orang tua. Jika nanti ada perubahan pada anak mereka, maka orang tua harus mendukung anak-anak untuk sekolah. Seiring berjalannya waktu, mereka sadar akan pentingnya ilmu pengetahuan dan impian. Saat anak-anak di sekolah, orang tua pasrah sepenuhnya ke Ibu Bapak Guru.

"Ibu Bapak Guru, kamu tindak saja anak kami. Yang penting kami mau mereka jadi orang. Pada saat jam sekolah itu urusan kalian. Kami tahunya anak-anak kami bisa baca, tulis, hitung," ucap para orang tua.


Belajar dengan Kurikulum Kontekstual

Layaknya anak sekolah pada umumnya, siswa SD Negeri Atti juga mandi sebelum berangkat ke sekolah. Bukan di rumah, melainkan di rawa. Dari rumah anak-anak berangkat ke rawa sambil membawa pancing.

"Mereka pagi-pagi pergi mandi di rawa sekalian taruh pancing. Selesai mandi anak-anak ke sekolah, ambil buku di rumah guru, taruh di kelas, lanjut berbaris," ucap Diana.

SDN Atti
Berbaris di halaman sekolah sebelum mulai belajar. (Dokumentasi: Instagram @gurupenggerakpedalamanpapua)

Siswa SD Negeri Atti tidak membawa pulang peralatan sekolah. Setiap selesai belajar buku dan pensil di taruh di rumah guru untuk diambil lagi esok hari. Kebetulan, rumah guru bersebelahan dengan sekolah.

Sebelum masuk kelas anak-anak bebaris di halaman sekolah. Mereka menyanyikan lagu-lagu nasional, mengucapkan yel-yel supaya semangat, dan berdoa sebelum mulai belajar. Tidak lupa, Bapak Ibu Guru selalu bertanya apakah anak-anak sudah sarapan? Kalau belum, dipersilakan sarapan dahulu. Kadang anak-anak membawa bekal sagu dari rumah.

"Ibu Guru, saya bisa makan dulu baru saya masuk kah?" ucap seorang siswa.

Dalam proses belajar mengajar, siswa SD Negeri Atti terbagi menjadi 3 kelas. Diana menjadi guru kelas 5 dan 6. Setiap hari Diana dkk. membagi anak-anak buku bacaan. Para siswa diminta untuk melihat dan membayangkan apa yang ada di dalam buku. Bapak Ibu Guru langsung mengajarkan A, B, C, D dan seterusnya.

SDN Atti
Diana sedang mengajar siswa SD Negeri Atti. (Dokumentasi pribadi Diana)

"Yang dijalankan selama ini, kami buat sebisanya. Prinsip kami bertiga bagaimanapun caranya mereka harus tahu baca. Walaupun dengan paksaan. Intinya mereka dengan suara lantang bisa menyebutkan A-Z tidak gemetar, tidak malu. Itu saja prinsip kami," ungkap Diana.

Siswa SD Negeri Atti biasanya membaca buku bacaan ringan. Yang berat tidak bisa. "Buku pelajaran sebenarnya ada, hanya tidak kontekstual. Bertolak belakang sekali untuk menerapkan kurikulum nasional di daerah 3T," ucapnya.

"Bagaimana kami mengajarkan siswa untuk membaca buku di perpustakaan? Padahal, tidak ada dalam bayangan mereka perpustakaan itu seperti apa," kata Diana.

"Bagaimana kami mengajarkan bahaya junk food? Sedangkan mereka tidak tahu seperti apa bentuknya. Anak-anak tidak memiliki akses untuk melihat itu semua," imbuhnya.

Oleh karena itu, Diana dan dua koleganya berinisiatif menerapkan kurikulum kontekstual di SD Negeri Atti. Kurikulum yang berbasis pada budaya Papua. Misalnya, saat memberi contoh hewan herbivora, karnivora, dan omnivora, ia menyebutkan hewan yang biasa anak-anak jumpai. Menurut perempuan lulusan Universitas Nusa Cendana Kupang ini, jika para guru mengikuti kurikulum nasional, selamanya daerah timur akan tertinggal.

SDN Atti
Tulisan Damianus. (Dokumentasi pribadi Diana)

Pada unggahan Instagram story, Diana membagikan salah satu tulisan anak didiknya. Ketika dikonfirmasi, ia mengatakan bahwa itu tulisan Damianus, salah satu siswa yang pintar di kelas 6. "Itu tulisan Damianus. Dia yatim piatu, jadi saya dorong dia harus bisa. Ketika diajar sesuatu Damianus cepat tangkap," ucapnya.

Diana mengungkapkan tulisan itu ada karena ia meminta anak-anak untuk menuliskan aktivitas yang kemarin mereka kerjakan. Tujuannya untuk melatih kemampuan menulis. Setelah selesai menulis 2 lembar penuh, anak-anak diminta membacanya satu per satu untuk melatih mental berbicara di depan umum.

"Saya bilang tulis saja yang kalian pahami. Nanti kalau tulisan kalian tidak bagus, atau kalimat kalian kocar-kacir Ibu betulkan," kenang Diana.

Saat baru menulis beberapa kalimat, Damianus pergi menghampiri Diana. "Ibu, apakah tulisnya seperti ini?" ucap Damianus.

Melihat tulisan tersebut, Diana terharu. Ia langsung meraih ponsel untuk mengambil gambar. Sebuah kemajuan yang patut dirayakan. Lalu, bagaimana para orang tua mengetahui perkembangan ilmu anak-anaknya? Sedangkan setiap hari Mama Bapa pergi ke hutan mencari makan.

"Ketika ada acara tertentu, misal mau buat supaya melatih mental anak-anak membaca di muka umum, guru memanggil orang tua ke sekolah. Sekalian mereka melihat progres dari anak-anaknya," ucap Diana.

SDN Atti
Jeklina Amkai, siswa SD Negeri Atti sedang membaca lirik lagu Tanah Airku (Dokumentasi: YouTube "Guru Penggerak Pedalaman Papua")

Seperti yang terlihat dalam salah satu video di channel YouTube "Guru Penggerak Pedalaman Papua". Orang tua siswa nampak mengintip dari balik jendela. Menyaksikan anak-anak dites membaca lagu Tanah Airku.

"Sebelum bernyanyi, saya minta dulu mereka membaca. Saya acak tunjuk liriknya dari bawah, atas, ke tengah. Jadi bukan semata-mata menghafal. Tetapi mereka benar-benar paham dan sudah bisa membaca," ucapnya.

Satu per satu siswa berdiri dan membacakan lirik lagu Tanah Airku. Setiap anak yang selesai membaca diberi tepuk tangan meriah sebagai bentuk apresiasi.

SDN Atti
Siswa SD Negeri Atti sedang belajar berhitung menggunakan bambu. (Dokumentasi: Instagram @gurupenggerakpedalamanpapua)

Untuk belajar menghitung, para guru di SD Negeri Atti juga menerapkan kurikulum kontekstual. Anak-anak belajar angka, penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian sederhana dengan memakai ranting pohon atau bambu. "Kalau di kota kan pakai sempoa, kami pakai bambu. Kami minta mereka potong bambu sebanyak 100 atau 200 untuk alat bantu berhitung. Itu efektif karena kontekstual," terang Diana.

Seperti apa semangat belajar anak-anak? Pada umumnya anak berusia 5-8 tahun semangatnya sangat tinggi. Sedangkan usia belasan ke atas terkadang ada rasa malas. Diana dkk. membangkitkan semangat belajar anak-anak dengan memberi mereka hadiah sederhana.

"Kami sering membuat kue. Pulang dari kota kami juga bawa bingkisan kecil-kecil sebagai hadiah. Yang penting anak-anak bisa jawab pertanyaan nanti dapat hadiah," ungkapnya.

Anak-anak belajar menanam kangkung. (Dokumentasi: Instagram @hall_viann) 

Selain belajar di sekolah, setiap sore anak-anak belajar membaca di rumah guru. Mereka juga diajarkan cara menanam dan merawat sayuran. Ketika sayur sudah siap panen, anak-anak berkumpul untuk memetiknya dan memasak kemudian makan bersama.


Perubahan yang Sangat Berarti

Jika di Pulau Jawa atau kota-kota besar kesuksesan sekolah diukur dari banyaknya prestasi olimpiade yang diraih, tidak dengan SD Negeri Atti. Bagi Diana dkk. melihat para siswa bisa membaca, menulis, dan berhitung adalah berkat luar biasa dari Tuhan. Terlebih ketika bisa mengantarkan anak-anak ke jenjang SMP di tengah tingginya angka putus sekolah.

Belajar menulis dan berhitung. (Dokumentasi: Instagram @hall_viann)

Butuh waktu kurang lebih 2 tahun untuk sampai di titik tersebut. Dimulai dari mengubah pola pikir, menanamkan cita-cita, hingga akhirnya anak-anak bisa menerima proses pendidikan ini. "Sekarang mereka rata-rata bisa membaca, menulis, dan berhitung," terang Diana.

Apa perubahan lainnya? Dulu siswa SD Negeri Atti tidak tahu lagu nasional satupun. Bukan karena tidak cinta tanah air, tapi tidak ada yang mengajari mereka. Kini, anak-anak dengan lantang bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya, Tanah Airku, Maju Tak Gentar, Syukur, Dari Sabang Sampai Merauke, Indonesia Pusaka, Hymne Guru, bahkan lagu daerah. Mereka juga sudah bisa menyebutkan 5 sila Pancasila hingga hafal 15 distrik yang ada di Kabupaten Mappi.

Dulu cita-cita anak Kampung Atti hanya ingin menjadi aparat desa. Sekarang mereka memiliki mimpi menjadi guru, tentara, polisi, mantri, suster, bupati, bahkan keliling dunia. 

Pada 2021, jumlah siswa SD Negeri Atti sebanyak 65 orang. Tahun 2022 jumlahnya bertambah menjadi 85 orang. Hingga kontrak Diana berakhir pada 2024, jumlah siswa masih sekitar 80-an.

SDN Atti
4 siswa SD Negeri Atti mengikuti ujian tahun 2024.  (Dokumentasi: Instagram @hall_viann)

Setiap tahun menjelang ujian anak-anak kelas 6 diberi tambahan waktu belajar saat sore hari. Fokusnya tetap pada calistung. Diana bersyukur pada 2022 sebanyak 24 siswa SD Negeri Atti berhasil masuk SMP. Setahun berikutnya, 14 anak melanjutkan sekolah ke SMP. Pada 2024 sebanyak 4 siswa yang mengikuti ujian juga melanjutkan ke SMP di Kota Kepi.


Kisah Haru Tak Terlupakan

Aktivitas pembelajaran di SD Negeri Atti dilaksanakan setiap Senin-Sabtu, mulai pukul 08.00 s.d. 12.00 WIT. Pagi itu, waktu menunjukkan pukul 06.30. Diana membuka pintu rumah dan menyapu teras. Saat pandangan Diana menuju bangunan sekolah, ia kaget melihat San Pieter bersama 2 kakaknya sudah duduk di ruangan kelas 6.

Befak, tempat mencari ikan. (Dokumentasi: Instagram @hall_viann) 

"Eh, kau sudah mandi kah belum?" tanya Diana menghampiri.
"Sudah to Ibu Guru. Saya sudah mandi," jawab San Pieter penuh keyakinan.

"Masa? Kau baku tipu saja," Diana menimpalinya heran.
"Sudah Ibu Guru, tadi kami mandi di rawa," tegas San Pieter.

"Memangnya kamu dari mana?" tanya Diana kembali karena belum percaya.
"Kami dari hutan to," ungkap San Pieter.

"Hutan? Maksudnya hutan yang itu?" Diana menunjuk hutan yang ada di belakangnya. 
"Iya hutan yang itu Ibu Guru. Saya tinggal di hutan. Saya ikut mama dorang ke befak," jelas San Pieter.

"Jadi selama ini kau tinggal di hutan?" tanya Diana dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Iya Ibu Guru saya tinggal di hutan. Jadi tiap pagi-pagi tempo (sebelum matahari terbit) saya dengan Kanesius dan Rito, kami tiga dahulu ke sekolah. Kami tidak pernah terlambat to?" jawab San Pieter memberi penjelasan.

"Aduh Ibu Guru tidak tahu selama ini kamu tinggal di hutan. Ibu Guru minta maaf su marah kamu." ucap Diana sambil memeluk mereka. 

Diana pun tak sanggup menahan air matanya. Selama ini, ia pikir San Pieter bersama saudaranya tinggal di kampung. Ternyata, setiap hari San Pieter harus berjalan kaki selama satu jam untuk sampai ke sekolah. Menariknya ia dan kakaknya tak pernah terlambat.

Anak-anak membawakan barang donasi dari Kampung Kaumi menuju Kampung Atti. (Dokumentasi: YouTube "Guru Penggerak Pedalaman Papua")

Diana juga bercerita kalau setiap pulang dari kota, ia dan dua rekannya harus menginap di Kampung Kaumi. Perjalanan tidak mungkin dilanjutkan hari itu juga karena akan betemu malam di tengah perjalanan. Yang bikin terharu, keesokan harinya anak-anak menjemput di Kampung Kaumi.

"Tiap kali pulang dari kota anak-anak jemput di kampung sebelah. Mereka bantu bawa barang-barang kami. Hanya modal bersurat. Mereka pegang janji bahwa kami akan sampai di jam sekian, mereka perhitungkan. Mereka sudah menunggu di pelabuhan sebelah," ucap Diana.

Anak-anak mengambil air sore hari.  (Dokumentasi: Google Maps SD Negeri Atti oleh akun Guru Penggerak Pedalaman Papua)

Guru dan perawat di daerah pedalaman sangat dihargai. Diana dkk. sering diberi diberi ikan, daging, sayur, dan kayu bakar oleh masyarakat. Bahkan mereka tidak diperbolehkan ambil air sendiri ke sungai. Setiap sore anak-anak membawa jeriken mengambil air untuk para guru. Warga Kampung Atti tetap berbagi meski dalam keterbatasan. Ini menjadi pelecut Diana untuk bertahan mengabdi di pedalaman selama 6 tahun.

"Warga sangat baik. Kami nyaman di sini. Kami berhutang budi pada mereka. Kebaikan mereka menjadi tanggung jawab moral bagi kami untuk memastikan anak-anak bisa membaca, menulis, dan berhitung," ucap Diana. 


Kolaborasi untuk Masa Depan

Peningkatan kualitas pendidikan anak-anak di daerah pedalaman seperti Kampung Atti bukan hanya tanggung jawab para guru. Mereka tidak bisa tegak berdiri tanpa bantuan banyak tangan. 

Pemerintah Kabupaten Mappi dengan program GPDT jelas memiliki andil besar. Pemda merekrut guru muda yang mau mengajar di daerah terpencil dan memberi honor 4 juta rupiah per bulan. Kontrak kerjanya pun diperpanjang setiap tahun agar anak-anak tetap bisa menimba ilmu.

Januari 2024 Pemerintah Kabupaten Mappi menambah fasilitas belajar di SD Negeri Atti. Pemda membangun 3 ruang kelas baru, 2 rumah guru, 1 gudang, dan 2 toilet. Selama proses pembanguan, aktivitas pembelajaran tidak berhenti. Mereka tetap belajar di 3 tempat berbeda yaitu rumah warga, rumah guru, dan kantor desa. 

SDN Atti
Siswa SD Negeri Atti berfoto di depan bangunan baru  yang sudah memiliki papan nama. (Dokumentasi: Instagram @hall_viann)

Kini, SD Negeri Atti sudah memiliki 6 ruang kelas dengan meja dan kursi yang layak. Papan nama sekolah juga sudah terpasang di tembok bangunan baru.

Tak hanya berkolaborasi dengan pemda, Diana dkk. juga mengajak masyarakat luas untuk mendukung pendidikan anak-anak di Kampung Atti. Mereka memanfaatkan media sosial untuk membagikan potret pendidikan di wilayah pedalaman dan membuka donasi berupa barang. Diana tidak menerima donasi uang.
 
"Saat sudah berada di tempat mengajar, ternyata tidak ada buku dan pulpen. Lalu kami mau apa? Kami putar otak dengan membuka donasi agar anak-anak tetap mendapatkan ilmu," terangnya.

Barang-barang yang diberi oleh donatur hanya bisa sampai di kota. Donasi perlengkapan sekolah, seragam, dan barang lainnya dikirim ke alamat kos yang Diana dkk. sewa Rp500.000 per bulan di Kota Kepi. Sebulan sekali barang pemberian donatur diambil untuk selanjutnya dimanfaatkan dalam proses KBM.

Belajar di tempat sementara menggunakan bantuan meja dari donatur. (Dokumentasi: Instagram @hall_vian) 

Donasi berasal dari luar daerah seperti Jakarta. Ada juga yang dari Singapura. Ibu Kepala Bank Papua Cabang Mappi juga turut andil membelikan meja belajar untuk anak-anak. Diana dan dua rekannya berterima kasih kepada para donatur. Bantuan perlengkapan sekolah sangat membantu anak-anak di Kampung Atti berproses meraih impian.


Apresiasi dan Dukungan Astra Terhadap Pendidikan di Kampung Atti

Selama 6 tahun Diana berani keluar dari zona nyaman. Ia memilih jalan meninggalkan hidup yang serba instan untuk mengabdi ke wilayah pedalaman. Tanpa listrik, tanpa internet, dan sulit mendapatkan air bersih.

Dulu, tidak pernah sekalipun Diana bermimpi untuk menjadi seorang guru. Sejak SMP ia bertekad untuk menjadi polwan atau kuliah di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN).

"Sebenarnya bukan cita-cita saya menjadi seorang guru. 2013 saya tes polwan gagal. Tes STPDN juga gagal. Saya iseng daftar kuliah jurusan pendidikan pancasila dan kewarganegaraan saja untuk mengisi kekosongan. Kalau ternyata nyaman sampai semester 2, ya, sudah lanjut saja," kenang Diana.

Setelah mengabdi menjadi guru di pedalaman, Diana baru mengerti rencana Tuhan. "Oh, Tuhan membawa saya gagal agar saya ke Mappi dan menjadi berkat untuk adik-adik di sana." ucapnya.

"Ternyata ini rencana Tuhan. Seandainya tidak menjadi guru, tidak mungkin 10 tahun kemudian saya mendapat apresiasi SATU Indonesia Awards," imbuhnya.

Diana Cristiana Da Costa Ati
Diana saat menerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2023. (Dokumentasi: YouTube "SATU Indonesia")

Diana tidak pernah menyangka bisa menerima apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards tahun 2023 Bidang Pendidikan. "Menjadi salah satu dari lima penerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2023 dan menjadi satu-satunya penerima apresiasi Bidang Pendidikan, itu berkat serta kemurahan Tuhan bagi saya dan teman-teman di SD Negeri Atti," ucap Diana penuh syukur. 

Pasca acara penganugerahan, Astra sangat mendukung kegiatan Diana dkk. di SD Negeri Atti. Kebutuhan seperti alat tulis, buku ensiklopedia, buku gambar, spidol, tempat pensil, seragam sekolah, bahkan baju untuk ke gereja dibelikan oleh Astra.

SDN Atti
Bantuan seragam sekolah dari Astra. (Dokumentasi pribadi Diana)

"Buku bacaan dari Astra banyak warna dan bergambar. Anak-anak senang dan makin semangat belajarnya. Sebelumnya buku kami monoton hanya huruf atau angka saja," ucap Diana.

Ini juga pertama kali anak-anak mendapatkan buku gambar. Siswa SD Negeri Atti belum pernah belajar menggambar karena buku gambar tidak tersedia. "Waktu di jembatan saya suruh anak-anak menggambar. Ternyata gambar mereka bagus. Jadi sebenarnya mereka bisa, tapi keterbatasan perlengkapan," kata Diana. 

Setiap bulan, guru di SD Negeri Atti berkolaborasi dengan Astra untuk mengadakan makan bersama. Makanan bergizi diberikan sebagai hadiah atas kemajuan belajar anak-anak.

Tinggal di wilayah pedalaman membuat siswa SD Negeri Atti belum mengenal perangkat elektronik. Ketika siswa di kota-kota besar belajar mengandalkan ponsel pintar, laptop, atau tablet, anak-anak di Atti masih mengandalkan bambu untuk berhitung. Oleh karena itu, sebagai bentuk pengenalan terhadap perkembangan teknologi, Astra memberi bantuan 3 unit tablet untuk SD Negeri Atti.

Belajar mengetik menggunakan tablet dari Astra. (Dokumentasi: Instagram @hall_viann)

Secara bergantian, anak-anak belajar mengetik dan mengenal bagaimana perangkat elektronik seperti tablet bekerja. Beruntung saat bantuan tablet diberikan, listrik sudah mulai masuk di Kampung Atti menggunakan tenaga surya.

"Astra banyak membantu kami dan berhasil menembus batas pedalaman yang tidak ditembus banyak orang," tutur Diana.


Harapan untuk Pendidikan di Pedalaman

Melihat berbagai persoalan dan tantangan di Kabupaten Mappi, Diana merasa dunia pendidikan di Papua sedang tidak baik-baik saja. Sudah seharusnya pemerintah pusat memberikan perhatian khusus kepada wilayah-wilayah seperti Mappi. 

Diana berharap kementerian terkait bisa berkunjung ke pedalaman. Mengobservasi secara langsung, agar kurikulum wilayah timur disusun lebih kontekstual. Perempuan yang saat ini sedang melanjutkan pendidikan S-2 Manajemen Kebijakan Publik di UGM ini juga meminta supaya administrasi pendidikan di wilayah pedalaman jangan dipersulit. Mengingat mereka keterbatasan akses dan fasilitas.

Khusus untuk anak-anak SD Negeri Atti, Diana berdoa semoga kelak dapat menjadi lebih baik dari yang sebelumnya. Ia berharap program GPDT bisa berkelanjutan dan menjadi program duplikat bagi kementerian terkait untuk menjangkau pendidikan di daerah-daerah yang dikategorikan tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

Diana bersama dua rekannya mengakhiri kontrak kerja sebagai guru di SD Negeri Atti pada 2024. Kini, perjuangan menghidupkan pengetahuan dan impian anak-anak di Kampung Atti dilanjutkan oleh rekan guru lain.

Saat berpamitan dengan masyarakat Kampung Atti, Diana dkk. meminta cukup orang tua angkat mereka saja yang mengantar. Diana, Vian, dan Icha takut sedih berkepanjangan ketika semua orang turut melepas di pelabuhan. 

"Kami pamit untuk studi lanjut. Suatu saat kami akan kembali," pungkas Diana.

Kehadiran Diana dkk. sebagai guru penggerak di pedalaman menjadi secercah harapan masyarakat Kampung Atti, baik untuk hari ini maupun di masa depan. Terima kasih Diana, Vian, dan Icha, telah berkontribusi menghidupkan pengetahuan dan impian anak-anak di Papua Selatan. 


***

Referensi

Wawancara by telepon dengan Diana Cristiana Da Costa Ati

Live Instagram Diana dengan @cantikadotcom (https://www.instagram.com/reel/C6-jpEgRVcd) 

Instagram @gurupenggerakpedalamanpapua (https://www.instagram.com/gurupenggerakpedalamanpapua) 

Instagram @hall_vian (https://www.instagram.com/hall_viann) 

YouTube "Guru Penggerak Pedalaman Papua" (https://youtube.com/@gurupenggerakpedalamanpapua937) 

Dari Puncak Hingga Mappi, UGM Telah Mengirim 582 Guru ke Papua (https://ugm.ac.id/id/berita/18397-dari-puncak-hingga-mappi-ugm-telah-mengirim-582-guru-ke-papua/)

Posting Komentar

0 Komentar