Spirit of Slamet 2018: Menyusuri Wisata, Kebudayaan, dan Kuliner Khas Banyumas




Kamis pagi, bangun tidur baca pesan dari Ketua GenPI (Generasi Pesona Indonesia) Banjarnegara kalau tanggal 15-16 Desember 2018 di Banyumas ada event Spirit of Slamet 2018 dan aku dimintai tolong untuk berangkat mewakili GenPI Banjarnegara. Duh, dilema banget dong. Kok dilema sih? Ya gimana, lagi dikejar deadline laporan kerjaan, tapi ada tawaran piknik gratis. Ditambah waktu lihat rundown City Tour, ternyata ada camping dan kunjungan ke Sentra Batik Banyumas. Entah dari zaman kapan pengin banget berkemah di kaki gunung tapi belum kesampaian hahaha. Aku yang kebetulan juga suka sama batik, penasaran dengan Batik Banyumas. Apa sih bedanya dengan Batik Gumelem, Banjarnegara? 

By the way, Spirit of Slamet merupakan event yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Banyumas melalui Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata yang berkolaborasi dengan komunitas serta pegiat pariwisata. Rangkaian kegitannya yaitu Bike, Tour, Run, dan Dance, selama tiga hari berturut-turut, 14-16 Desember 2018. Untuk kegiatan tour tanggal 15-16, Disporabudpar Banyumas mengundang GenPI Jateng sebagai tripper.

Day 1 – 15 Desember 2018
Pukul 10.00 WIB tepat, aku sampai di Pendapa Si Panji Banyumas. Disambut dengan ramah oleh Kakang Mbekayu Banyumas, aku registrasi dan mendapat tanda pengenal “Tripper” serta flayer tentang Banyumas. Cuaca memang lagi sering hujan ya, begitu aku sampai di pendapa langit berubah menjadi gelap. Di lokasi sudah datang teman-teman GenPI dari Purworejo dan Jepara.

Hujan menemani welcome drink khas Banyumas yaitu teh hangat, mendoan dan gethuk goreng. Hhmmm enak banget lho makanan khas ini. Meskipun aku tinggal di Karisidenan Banyumas dan hampir tiap hari makan mendoan, tapi di Banyumas mendoannya beda. Apa bedanya? Cobain sendiri deh haha. Mendoan berasal dari bahasa Banyumasan yaitu “mendo” yang artinya “setengah matang”. Jadi, mendoan adalah tempe yang digoreng dengan tepung terigu tapi setengah matang. Jangan heran ya kalau tampilannya rada basah gitu hihihi


Mendoan Banyumas 
(Foto: Liputan6.com)

Kamu akan menjumpai banyak toko oleh-oleh gethuk goreng kalau keliling Banyumas. Yaps, makanan yang terbuat dari singkong ini memang menjadi salah satu kuliner yang diburu oleh para wisatawan untuk cedera mata keluarga di rumah. Cocok banget saat turun hujan, minum teh hangat sambil ngemil gethuk goreng. Rasanya manis, gurih, dan teksturnya kenyal. 

Keliling Banyumas Dengan Mobil VW Safari
(Foto: @genpijateng)

Kegiatan city tour dimulai pukul 12.50 WIB dengan menaiki 8 (delapan) Mobil VW Safari milik Komunitas “Banyumas Volkswagen Club”. Ini pengalaman pertamaku naik Mobil VW Safari. Mohon maaf ya, rada ndeso haha. Untung saat itu semesta mendukung, panas enggak, hujan juga enggak. Meninggalkan Pendapa Si Panji di Kota Purwokerto, kami menuju ke sentra batik di Desa Papringan, Kecamatan Banyumas. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 30 menit, kami sampai di Gerai Batik Pring Mas. Kami disambut dengan hangat oleh para perajin batik.

Kelompok Usaha Bersama (KUB) Pring Mas resmi didirikan pada tahun 2013. Dengan bantuan dana dari Bank Indonesia, kelompok yang diketuai oleh Ibu Siyarmi ini akhirnya memiliki gerai untuk memajang hasil karya dari para perajin. Ada beberapa jenis batik yang dijual, antara lain batik tulis, batik cap, batik kombinasi tulis dan cap, serta batik jumputan. Motif khas Banyumas adalah Lumbon dan Pring Sedapur. Sedangkan untuk warna khasnya sama dengan Batik Gumelem Banjarnegara yaitu warna tanah atau cokelat. Harga batik tulis papringan mulai dari Rp350.000 s.d Rp1.500.000, tergantung kerumitan motif.

GenPI Belajar Membatik

Nggak hanya lihat, pegang, dan bertanya tentang batik. Kami juga praktik langsung untuk membatik sapu tangan. Ini ketiga kalinya aku belajar membatik, dan masih sama, lilin malamnya “mbleber” kemana-mana. Pegang canting saja masih kaku, seperti sikap dia ke aku, ehh.. Penasaran sama hasil sapu tangan karya sendiri. Sapu tangan yang di batik tulis lagi, uhh pasti keren banget ya.

Hasil Membatik Sapu Tangan

Selesai membatik, kami melanjutkan perjalanan menuju Kota Lama Banyumas. Ini merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas sebelum dipindah ke Purwokerto. Lokasi ini sekarang dijadikan Kantor Kecamatan Banyumas dan juga tempat wisata.

Di sini kami melihat Pendapa Yudanegara atau yang biasa dikenal sebagai Pendapa Duplikat Si Panji Banyumas. Sejarahnya di Pusat Pemerintahan Banyumas yang lama terkena banjir bandang tanggal 21, 22, 23 Februari 1861 karena Sungai Serayu meluap. Muncul istilah “bethik mangan manggar” yang berarti ikan bethik makan bunga kelapa. Kok bisa ikan makan bunga kelapa? Ya, banjirnya setinggi pohon kelapa kala itu. Sehingga muncul anggapan ikan sampai pucuk pohon kelapa dan makan bunganya. Cerita perpindahan ibukota Banyumas yang terjadi tahun 1937 tidak serta merta dikarenakan banjir, tapi juga karena alasan keamanan dan pertimbangan politik.

Salah satu Saka Si Panji yang dipindahkan dari pendapa lama ke pendapa baru tidak melewati sungai serayu. Konon ceritanya itu untuk menghindari hal-hal (peristiwa gaib) yang tidak diinginkan. Sehingga pemboyongannya lewat Semarang.

Peserta City Tour Melihat Situs Sumur Emas
(Foto: Muhammad Rezal F)

Selain Pendapa Duplikat Si Panji, ada juga situs Sumur Emas dan Musem Wayang di area yang dulunya adalah rawa ini. Kalau dengar nama “Sumur Emas”, apa yang ada dibenak kalian? Sumur yang airnya berwarna kuning keemasan? Atau sumur yang menghasilkan emas? Ternyata bukan dua-duanya ya gaes. Warna air sumurnya tetap putih bening. Yudanegara yang merupakan Bupati Banyumas ketujuh melihat pancaran sinar keemasan dari Bukit Binangun selepas sholat ashar. Ketika didekati, ternyata ada titik sendang (sumur) di sini. Pancaran sinar seperti emas itu ternyata berasal dari matahari. Sampai sekarang sumur ini masih digunakan oleh warga untuk kepentingan spiritual. Air di sumur ini tidak keluar setiap saat, tapi hanya sekitar bulan Januari dan Februari.

Tim City Tour Foto Bersama di Museum Wayang Banyumas
(Foto: Jisnu)

Pindah ke Museum Wayang Banyumas, tempat ini didirikan tanggal 31 Desember 1983 dan diprakarsai oleh Bapak Soepardjo Rustam, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu. Koleksi unggulan di sini adalah Wayang Kidang Kencana. Wayang tersebut dibuat pertama kali oleh Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) dari Pajang tahun 1556, dengan ukuran fisik 60 sampai 70 persen ukuran wayang kulit purwa pada umumnya. Oleh karena itu, dinamakan Wayang Kidang Kencana. Selain wayang ada pula koleksi lain seperti pusaka, fosil tumbuhan dan batu, tombak, alat kesenian tradisional Calung Bayumasan, koleksi foto Bupati Banyumas dari masa ke masa, dan uang kuno. Kamu juga bisa selfie dengan aneka wayang yang ada ya. Harga tiket baik untuk pelajar maupun umum hanya Rp 1.000/orang. Terjangkau banget dong.

Foto Dengan Koleksi Wayang

Jelajah Kota Lama Banyumas berlanjut untuk sholat ashar di Masjid Agung Nur Sulaiman pukul 16.00 WIB. Masjid yang berada di komplek Alun-alun Kecamatan Banyumas termasuk dalam cagar budaya yang telah terdaftar oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah pada tahun 2004. Dari depan nampak bangunan masjid ini merupakan khas Banyumas yang berbentuk limasan. Diperkirakan Masjid Agung Nur Sulaiman dibangun pada kisaran akhir tahun 1700-an.

Selesai berwisata di area kota, perjalanan dilanjutkan menuju wilayah Baturraden. Masih menggunakan mobil VW Safari, waktu tempuh kurang lebih satu jam menuju Camp Area Umbul Bengkok (CAUB). Sebenarnya waktu dikasih rundown acara sudah penasaran apa itu CAUB. Ingin mencoba browsing tapi takut kenyataan tak sesuai ekspektasi. Jadi aku biarkan rasa penasaran ini hehehe

Perjalanan dari Kecamatan Banyumas menuju Kecamatan Baturaden melewati salah satu peninggalan Belanda yaitu Pabrik Gula Kalibagor yang didirikan tahun 1839. Dari jalan nampak bangunannya masih kokoh namun sedikit seram hihihi. Kami juga melewati pusat oleh-oleh gethuk goreng di daerah Sokaraja.

Dalam perjalanan, saat Gunung Slamet mulai kelihatan cantiknya, tiba-tiba mobil VW yang aku naiki berhenti. Wah, sudah was-was. Dalam hati berkata “Jangan bilang bensinnya habis, nanti kami disuruh dorong wkwk”. Beneran, mobilnya kehabisan bensin. Dan posisi disepanjang jalan menuju CAUB belum ada tanda-tanda orang jual bensin. Untung mas driver sudah menyiapkan bensin di dirigen, kalau enggak kami dorong beneran nih mobil.

Camp Area Umbul Bengkok (CAUB)
(Foto: Anisa Rosdiana)

Sesampainya di CAUB, udaranya sejuk banget. Bagi aku sih belum masuk kategori dingin. Kalau dibandingkan sama Dieng, lebih dingin di Dieng. Baru sampai di CAUB, suasana sudah gelap karena masuk waktu maghrib. Ternyata gaes, pemandangan kota Purwokerto dari sini keren abis kalau malam. Kelap-kelip lampu kota menghiasi sederetan pemandangan yang memanjakan mata. Heningnya suasana pedesaan menambah kesyahduan malam kami. Yaa, pada akhirnya kesampaian juga aku camping di kaki gunung.

Posting Komentar

0 Komentar