Peran Taman Ismail Marzuki Dalam Perkembangan Budaya Guna Mendukung Urban Tourism

Taman Ismail Marzuki

Saat istirahat makan siang, empat orang pekerja milenial pada sebuah perusahaan start up ternama di Jakarta nampak serius berdiskusi di kantin kantor. Orang-orang biasa menyebut mereka “The Fantastic Four”. Rupanya, mereka tengah asyik merencanakan liburan Natal dan Tahun Baru 2022. Iqbal sebagai pecinta gunung mengajak teman-temannya untuk wisata ke daerah pegunungan di Bandung, Jawa Barat. Sementara Nadia yang memiliki hobi menyelam mengusulkan Kepulauan Seribu sebagai tujuan mereka untuk berlibur.

Kedua usulan tempat tersebut memang menarik untuk dikunjungi bersama teman-teman. Namun, dalam situasi pandemi seperti sekarang, bepergian jauh ke luar kota untuk sekadar liburan tentu tidak direkomendasikan. Giska pun menyarankan agar mereka wisata kota saja. Atau yang biasa kita kenal dengan urban tourism.

Sebagai pekerja yang tinggal di Jakarta, tentu banyak pilihan wisata dalam kota yang dapat didatangi. Putra segera mengambil gawai dari sakunya untuk berselancar di internet. Dengan sigap ia mencari informasi wisata kota kekinian yang dapat mereka kunjungi sekaligus menambah pengetahuan. Dari beberapa rekomendasi tempat wisata, mereka akhirnya memutuskan untuk berwisata ke Taman Ismail Marzuki (TIM). Sebuah pusat kesenian dan kebudayaan di Ibukota Jakarta. 

Dipilihnya TIM sebagai tujuan urban tourism bukan tanpa alasan. Pertama, The Fantastic Four ini memang belum ada yang pernah berkunjung ke TIM. Kedua, sebagai generasi milenial yang cinta akan kesenian dan kebudayaan Indonesia, mereka merasa perlu menambah wawasan mengenai perkembangan budaya tanah air. Ketiga, sebagai pekerja start up yang dituntut untuk kreatif, mereka merasa perlu melihat karya-karya seniman yang luar biasa sebagai referensi dalam berkarya.

Kebetulan sejak 2019 sampai saat ini, TIM masih dalam proses revitalisasi sehingga pengunjung masih dibatasi. TIM hanya menerima kunjungan setiap hari Kamis pukul 15.00 s.d. 17.00 WIB dengan protokol kesehatan ketat. Meski belum dapat menikmati sepenuhnya ‘wajah baru TIM’, Iqbal dkk tetap semangat untuk berwisata ke sana sambil melihat perkembangan revitalisasi TIM. 

Nah, sebelum berkunjung ke TIM akhir tahun nanti, ada baiknya kita baca dulu sejarah singkat didirikannya Taman Ismail Marzuki.


Sejarah Singkat Taman Ismail Marzuki (TIM)

Taman Ismail Marzuki

Sebuah seni akan berkembang dengan baik apabila ada tempat dan fasilitas yang mendukung. Bukan begitu? Pada masa Pemerintahan Orde Lama, banyak seniman yang mengeluh karena kurangnya fasilitas atau tempat penyaluran bakat seni kreatif di Jakarta. Pada kesempatan lain, Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jakarta saat itu juga mengungkapkan cita-citanya untuk menjadikan Jakarta sebagai Kota Budaya. 

Oleh karenanya, untuk menjawab keluhan seniman sekaligus mewujudkan cita-cita tersebut, Ali Sadikin membangun Taman Ismail Marzuki atau yang biasa kita kenal dengan TIM. Bekas kebun binatang di Jalan Cikini Raya Nomor 73, Jakarta Pusat, yang luasnya kurang lebih mencapai delapan hektar pun dipilih sebagai lokasi pembangunan TIM. Mudahnya jangkauan berbagai jenis alat transportasi menjadi alasan Ali Sadikin memilih lokasi ini. 

TIM diresmikan tanggal 10 November 1968 dan menjadi ‘surga’ bagi para seniman. Bagaimana tidak? Berbagai fasilitas mewah pada zamannya tersedia di sana. Saat itu, TIM terdiri dari tujuh bangunan yaitu teater terbuka, teater tertutup, bangunan pameran, tempat latihan, sanggar seniman, gedung pertemuan, dan teater arena. 

Nama Taman Ismail Marzuki dipilih sebagai bentuk penghargaan kepada Ismail Marzuki selaku putra asli Jakarta yang juga seorang komponis besar atas jasa-jasanya kepada bangsa dan negara. Karya-karyanya telah menginspirasi banyak seniman, utamanya di bidang musik. Sebagai pusat kesenian dan kebudayaan, TIM memiliki memiliki peran strategis dalam memberi ruang apresiasi dan edukasi bagi perkembangan budaya di Indonesia.

Dalam buku berjudul Indonesia’s News Order: The Dynamic of Socio-Economic Transformation yang terbit tahun 1994, Hatley menuliskan bahwa tahun 1968-1980 menjadi ‘masa keemasan’ bagi TIM. Saat itu pemerintah bersedia mendanai dan menyediakan fasilitas untuk mendukung program-program yang dicanangkan lembaga kesenian. Dari situlah tumbuh kreasi yang inovatif dari masyarakat dalam seni klasik maupun modern. 

Selepas masa emas tersebut, TIM mulai mengalami penurunan akibat adanya campur tangan berlebihan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang memengaruhi para seniman dalam berkarya. Singkat cerita, TIM mengalami beberapa kali pergantian pengurus. Tahun 2015 Gubernur Basuki Tjahaja Purnama memberikan mandat pengelolaan TIM kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sejak saat itu, dialog antara seniman dan pengelola menjadi berkurang. Bahkan para seniman tak lagi leluasa untuk sekadar nongkrong di TIM karena petugas keamanan yang tidak dikenal oleh seniman.

Kini, TIM tengah direvitalisasi oleh PT. Jakarta Propertindo (Jakpro) guna mengembalikan pusat kesenian yang sesungguhnya. TIM yang menjadi barometer seni dan kediaman bagi seniman. Dikutip dari liputan6.com, seorang seniman bernama Arie F. Batubara menyampaikan dua alasan mengapa TIM perlu di revitalisasi. Pertama, perbaikan fisik seperti gedung dan fasilitas perlu menyesuaikan perkembangan zaman guna mendukung berkembangnya seni itu sendiri. Kedua, restrukturisasi kelembagaan seni juga dibutuhkan mengingat dulu saat dikelola oleh seniman, TIM sangat berjaya.

Mari kita doakan semoga proses revitalisasi ini berjalan lancar sehingga TIM dapat menjadi Urban Art Center dan Creative Hub di ibukota.


Peran TIM dalam Perkembangan Budaya

Taman Ismail Marzuki

Sebagai sebuah ibukota negara, Jakarta diharapkan tak hanya menjadi pusat ekonomi negara. Namun juga dapat menjadi pusat budaya yang mempertemukan berbagai budaya nasional maupun internasional. Kita tak dapat menutup mata. TIM memiliki peran yang cukup besar dalam perkembangan seni dan budaya Indonesia. TIM telah banyak melahirkan seniman kelas dunia yang berhasil menciptakan identitas budaya. 

Menurut Stuart Hall dalam bukunya yang berjudul Colonial Discourse and Post-Colonial Theory, identitas budaya dapat dilihat dari dua cara pandang. Pertama, identitas budaya sebagai wujud (identity as being) yang stabil. Artinya identitas budaya dipandang sebagai sesuatu yang tetap dan tidak akan pernah berubah. Sudut pandang kedua adalah identitas budaya sebagai proses menjadi (identity as becoming). Maksudnya identitas budaya tersebut akan terus berubah. Konsep ini memandang bagaimana proses “menjadi” sama pentingnya dengan apa yang “telah terjadi”.

Saya pribadi setuju dengan apa yang disampaikan Stuart Hall dalam bukunya. Karena dalam setiap perkembangan budaya pasti akan ada identitas budaya statis seperti berkaitan dengan sejarah. Lalu ada pula yang dinamis mengikuti perkembangan zaman. Peran TIM dalam perkembangan budaya telah melibatkan dua cara pandang tersebut. 

TIM Menjadi Pusat Kegiatan Seni; Latihan, Pentas, dan Pameran

Sesuai dengan tujuan awal, dibangunnya TIM adalah untuk menjadi tempat penyaluran bakat seni kreatif para seniman. Pada masa awal didirikannya TIM, seniman mendapat kebebasan untuk berkegiatan dan mengekspresikan karyanya di sini. Mulai dari latihan, pentas, hingga pameran. Oleh karenanya, banyak karya yang telah lahir dan memengaruhi perkembangan budaya. 

Pentas yang digelar di TIM telah melalui proses seleksi oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kegiatan seni yang dianggap baik lalu akan disponsori oleh DKJ untuk selanjutnya diadakan pentas. Hal ini menunjukkan bahwa tidak sembarang kesenian dapat ‘manggung’. Namun, TIM tetap menjadi tempat yang membebaskan setiap seniman untuk mengekspresikan karyanya.

Menjadi Tempat Perkembangan Budaya Seni Rupa Kontemporer

Tahun 1974, Dewan Kesenian Jakarta menyelenggarakan Pameran Besar Seni Lukis Indonesia di TIM. Pada kegiatan tersebut, DKJ mendapat protes dari kelompok seniman muda yang berasal dari kalangan mahasiswa. Seniman muda ini menganggap para pemenang yang terpilih didominasi oleh lukisan dekoratif yang tidak menunjukkan keberagaman dalam karya seni rupa.

Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) merupakan sebutan bagi kelompok seniman muda tersebut. Merekalah yang menjadi alasan lahirnya seni rupa kontemporer Indonesia. Peristiwa itu diawali dengan adanya Pameran GSRB tahun 1975. Sebuah pameran yang berhasil menanamkan mindset pentingnya kebebasan berekspresi dalam seni rupa.

Tak seperti karya seni rupa terdahulu yang cenderung menekankan pada seni lukis, patung, atau seni grafis, karya seniman GSRB lebih banyak menggunakan benda-benda yang mudah ditemukan di sekitar. Benda tersebut antara lain kaleng, plastik, majalah bekas, mainan anak, hingga perlengkapan rumah tangga.

Sebagai Tempat Kegiatan Akademik

Di lingkungan TIM, terdapat perguruan tinggi Institut Kesenian Jakarta (IKJ). TIM sering digunakan oleh mahasiswa IKJ sebagai laboratorium untuk menimba ilmu dan praktik kesenian.

Dulu, setiap fakultas mendapat kesempatan memakai TIM untuk kegiatan pameran atau kegiatan seni lainnya setiap enam bulan sekali. Setiap mahasiswa pun diwajibkan untuk menyaksikan pertunjukan berbagai bidang seni lalu membuat rangkumannya. Para mahasiswa mendapatkan ilmu seni langsung dari lapangan.

Kegiatan seperti ini menjadikan TIM berperan besar dalam perkembangan budaya melalui kegiatan akademik.

Tempat Berkumpul Para Seniman

Selain tiga kegiatan di atas, TIM juga menjadi tempat kongkow para seniman. Berkumpul dengan teman satu hobi atau satu profesi tentu dapat mendatangkan banyak manfaat. Mereka dapat bertukar pikiran secara santai untuk menciptakan karya-karya seni baru.

Dulu, tempat favorit mereka untuk berkumpul adalah di Kantin Dewi Indah dan beberapa warung lain yang tempatnya nyaman. Wisma Seni juga kerap menjadi tempat menginap seniman yang datang dari daerah lain di luar Jakarta. Lokasi lain yang dimanfaatkan untuk berkumpul adalah Teater Arena, Wisma Seni, Teater Tertutup, dan Ruang Tari Huriah Adam.  

Setelah direvitalisasi, semoga makin banyak ruang untuk berkreasi bagi para seniman, ya.

Menjadi Panutan Pendirian Pusat Seni dan Budaya di Kota-kota Besar

Sekitar tahun 1970-an, TIM menjadi panutan beberapa provinsi untuk mendirikan pusat seni dan budaya di kota mereka, seperti:
  • 1976, Taman Werdhi Budaya Art Centre di Denpasar, Bali.
  • 1979, Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta.
  • 1980, Taman Budaya Yogyakarta di Kota Yogyakarta.
Taman budaya yang ada di daerah-daerah tersebut dapat menjadi tempat pertunjukan tingkat provinsi sedangkan TIM untuk skala nasional.

 

TIM Urban Tourism

Taman Ismail Marzuki

Melarikan diri untuk wisata di pusat kota saat akhir pekan menjadi salah satu pilihan bagi wisatawan. Tentunya, berkunjung ke destinasi wisata yang dekat dan ramah transportasi umum akan mengurangi waktu tempuh. Sehingga wisatawan tidak kelelahan dalam perjalanan.

Urban tourism atau wisata kota merupakan wisata yang berada di wilayah perkotaan dan memiliki daya tarik untuk memikat pengunjung. Destinasi wisata yang dapat kita jumpai di tengah kota antara lain museum, pusat perbelanjaan, pusat kuliner, taman bermain, serta pusat kesenian dan budaya.

Dalam pariwisata, kita mengenal konsep 3A yaitu Aksesibilitas, Atraksi, dan Amenitas. Aksesibilitas merupakan sarana dan infrastuktur menuju lokasi wisata. Seperti kondisi jalan raya, ketersediaan transportasi, dan rambu-rambu sebagai petunjuk. Lokasi TIM yang berada di tengah Kota Jakarta Pusat tentu tidak memiliki masalah dengan aksesibilitas. Untuk sampai di TIM, wisatawan dapat menggunakan moda transportasi umum seperti busway, KRL commuter line, atau ojek online yang banyak tersedia.

Lalu berikutnya ada atraksi. Apa sih yang dapat dilakukan dan dilihat wisatawan ketika berkunjung ke TIM? Tentu berbagai pertunjukan dan karya seni dapat dinikmati pengunjung. Tak terbatas pada seni rupa, namun juga seni musik, seni tari, maupun teater. Berwisata ke TIM dapat membuka cakrawala pemikiran bahwa seni dan budaya sangat luas, tak terbatas jarak dan ruang, serta kompleks. Kita dapat melihat karya-karya luar biasa yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Selanjutnya tentang amenitas, yaitu fasilitas di luar akomodasi. Fasilitas ini dapat berupa restoran, toko cenderamata, tempat ibadah, toilet, taman, dan lain sebagainya. Wajah baru TIM sendiri telah merenovasi Masjid Amir Hamzah yang berkapasitas 860 orang. Selain itu, di bagian selasar Gedung Panjang juga akan disiapkan kafetaria yang diisi dengan gerai ritel produk UMKM maupun perusahaan rintisan. Sudah semakin mantap menjadikan TIM sebagai urban tourism?

Oh iya, kalau mau wisata edukasi selain seni, Gedung Planetarium solusinya! Gedung ini dapat menjadi sarana belajar mengenai sejarah alam semesta. Susunan bintang dan benda-benda langit lain juga diperagakan di sini. Sangat menarik, ya? Belum lagi wajah baru TIM yang kini masih dalam proses revitalisasi nampak megah dan futuristik. Sang desainer Andra Matin meyakini wajah baru TIM akan mengembalikan roh Taman Ismail Marzuki saat pertama kali dibangun.

Taman Ismail Marzuki

Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari akun instagram @wajahbaru_tim, perkembangan revitalisasi TIM per 14 November 2021, tahap satu telah mencapai 99,04%, tahap dua 41,63%, dan tahap tiga 26,08%. Wajah baru TIM juga didesain ramah bagi penyandang disabilitas, loh.

Saya pribadi berharap setelah seluruh tahap revitalisasi TIM rampung 100%, wisatawan yang datang tak hanya sekadar berburu foto untuk memenuhi feeds Instagram pribadi mereka. Karena saya melihat wajah baru TIM memiliki banyak spot menarik untuk berfoto. Beberapa tahun ini setelah marak penggunaan media sosial, esensi wisata ke berbagai tempat yang bersejarah memang sangat berkurang. Wisatawan hanya datang, foto, lalu pulang. Mereka tidak menelusuri lebih dalam tentang cerita di balik destinasi wisata tersebut. Miris bukan? 

Nantinya, semoga wisatawan dan semua pihak yang berkunjung ke TIM tetap menjaga fasilitas yang ada. Tidak mencoret tembok seperti yang terjadi dibeberapa tempat wisata. Sama-sama kita jaga TIM yang memiliki peran besar dalam perkembangan budaya.

Saya juga berharap, para seniman kembali menemukan kebebasan mereka untuk berkreasi di wajah baru TIM ini. TIM urban tourism yang menjadi kediaman nyaman bagi seniman sekaligus tempat wisata edukasi kebudayaan. Dengan demikian, TIM dapat melaksanakan peran seutuhnya dalam perkembangan budaya guna mendukung urban tourism.

Jika diberi kesempatan untuk kembali menyambangi Jakarta, Taman Ismail Marzuki akan masuk dalam daftar nomor satu destinasi wisata yang akan saya kunjungi.



***

Sumber bacaan:

Hall, Stuart.1994. Colonial Discourse and Post-colonial Theory. London: Harvester Wheatsheaf.

Dewi, Citra Samara. 2017. Peran Taman Ismail Marzuki Terhadap Perkembangan Seni Rupa Kontemporer Indonesia: Kajian Peristiwa Pameran Seni Rupa Era 1970-an. Jakarta: Institut Kesenian Jakarta.

Rinjani, Niken Flora. 2020. Perubahan Peran Seniman dalam Dinamika Ruang Publik di Taman Ismail Marzuki (1968-2018). Bandung: Universitas Padjajaran.

Awwal, Akhmad Mundzirul. 2019. Ini Alasan Kenapa TIM Perlu di Revitalisasi. https://www.liputan6.com/news/read/4139156/ini-alasan-kenapa-tim-perlu-direvitalisasi

Posting Komentar

13 Komentar

  1. Liat video plan revatalisasi Taman Ismail Marjuki makin bagus bgt. Wajah baru TIM yang segar diharapkan makin banyak wisatawan akan datang tak hanya sekedar foto namun mempelajari budaya dan sejarah berdirinya TIM ya.

    BalasHapus
  2. Dulu, awal 2000-an saya pernah ke Jakarta dan rasanya sudah ada di dekat TIM tapi waktu itu tak tergerak ke sana. Jika nanti berkesempatan ke Jakarta lagi, TIM harus masuk di list destinasi wisata, nih.

    BalasHapus
  3. wah setelah di revitalisasi jadi makin bagus ya mbak, makin enak di pandang dan nyaman buat eksplor sejarah berdirinya TIM

    BalasHapus
  4. Memang sudah waktunya TIM direvitalisasi supaya bisa lebih nyaman dan sesuai dengan perkembangan zaman yah mbak. Nanti kalo main ke Jakarta, harus mampir2 nih ke TIM karena udah lama banget gak ke sana

    BalasHapus
  5. Sebelum banyak gedung modern di Jakarta, yang kutau TIM sering dijadikan lokasi acara dunia pertelevisia, terutama acara live. Dulu acara anugaerah2 apa gitu diadakan di TIM. Kok saya tau? Soalnya MCnya bilang, "Dari Gedung Taman Ismail Marzuki Jakarta, kita saksikan blablabla...." haha..

    Padahal belum pernah ke sana juga saya, hehe

    BalasHapus
  6. Wajah TIM yang baru sangat bagus dan indah sekali.
    Semoga dengan revitalisasi TIM, kini TIM bisa menjadi tempatnya belajar dan bekerjasama untuk menghasilkan karya anak muda yang lebih besar lagi.

    Terimakasih banyak untuk Gubernur Jakarta, Bapak Ali Sadikin yang mendengar keresahan para seniman kala itu sehingga TIM bisa ada sampai kini.

    BalasHapus
  7. aku seneeeng banget lihat TIM yang sekarang mba.. beda dan semoga bisa menjadi hub kreatifitas yang terus maju dan berkembsng

    BalasHapus
  8. Masya Allah... Terakhir ke situ pas belum nikah, hehe. Sekarang pastinya tambah bagus dan lebih lengkap ya. Senang deh lihatnya. Makasih sharingnya, Mbak.

    BalasHapus
  9. Alhadmulillah, semoga cepat selesai yaa pembangunan TIM. Udah kangen pengen jalan jalan ke sana terutama ke planetariumnya. Btw semoga juga bangunan bangunan bersejarahnya tidak ikut dipugar ya. agar sejarah itu tetap ada dan nyata.

    BalasHapus
  10. kalau di kota memang bagusnya konsep urban tourism ya mba. jadi sebisa mungkin bangunannya dibuat unik dengan konsep2 yang menarik. pasti banyak memikat anak muda juga

    BalasHapus
  11. waaaa jadi kangen ke TIM, dulu saat tinggal di Jakarta sering ke sini, lihat pameran lukisan dan nonton.... semoga revitalisasinya bikin pengunjung makin nyaman tanpa kehilangan jejak sejarah bangunannya ya....

    BalasHapus
  12. Semoga aja dengan revitalisasi ini, pamor TIM akan kembali seperti jaman keemasannya dulu. Menjadi surga bagi para seniman dalam menuangkan karya dan bersosialisasi. Pengin banget bisa ke sana. Sama sekali belum pernah nihhhh :)

    BalasHapus
  13. Revitalisasi TIM semoga semakin bagus dan baik mbak. Apalagi susah 53 tahun dan pernah juga ke sana waktu masih jaman kuliah.

    BalasHapus
Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)