Indonesia Darurat Perokok Anak! Mampukah Edukasi, Regulasi, dan Kolaborasi Menurunkan Prevalensi?

Indonesia Darurat Perokok Anak

Prevalensi terhadap perokok anak pada 2019 kembali naik menjadi 10,7 persen.
Ini adalah buah dari kelengahan semua elemen.
Orang tua, pemerintah, institusi pendidikan, produsen, dan semua pihak dinilai tidak konsisten.

Target RPJMN 2019 tentang prevalensi perokok anak sebesar 5,4 persen tidak tercapai.
Rokok eceran masih dengan mudahnya anak-anak gapai.
Iklan rokok makin masif di dunia maya karena belum ada regulasi yang melarangnya.
Jumlah perokok elektrik meningkat 10 kali lipat, padahal memiliki bahaya yang sama, dapat membuat penggunanya sekarat.

Cukai rokok sering dinilai masyarakat sebagai salah satu 'pahlawan' negara.
Bagaimana faktanya?
Pendapatan negara dari cukai rokok pada 2017 sebanyak 147,7 triliun.
Namun, dampak kesehatan akibat rokok lebih dari tiga kali lipatnya yaitu 531 triliun.

Kawasan tanpa rokok tak jarang dianggap sebagai sesuatu yang marginal,
meski kesehatan masyarakat jadi tumbal.
Dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 telah jelas diamanatkan bahwa pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya.
Lebih dari satu dekade berjalan, masih ada 76 kabupaten/kota yang belum mengeluarkan regulasinya.

Tuntutan revisi PP 109 terus digaungkan.
Namun, belum terlihat langkah pemerintah untuk mewujudkan.
Melihat masa depan anak-anak terancam, apakah kita hanya akan duduk diam?
Indonesia darurat perokok anak! Mampukah edukasi, regulasi, dan kolaborasi menurunkan prevalensi?

***

Indonesia Darurat Perokok Anak

United Nations Children's Fund (UNICEF) menyebutkan jumlah remaja yang menghisap asap rokok usia 13-15 tahun semakin meningkat. Tahun 2014 jumlah remaja perempuan yang menghisap asap rokok sebanyak 2,5 persen, lalu naik menjadi 2,9 persen pada 2019. Sedangkan remaja laki-laki yang merokok pada 2014 sebesar 33,9 persen dan naik menjadi 35,5 persen pada 2019. Dari jumlah tersebut, 76,6 persen membeli rokok di toko, warung, dan penjual di jalanan. Lebih dari 60 persen penjual tidak melarang anak-anak untuk membeli rokok. 

Berdasarkan pengamatan saya, ada 3 faktor utama yang memicu anak-anak merokok. Pertama, karena lingkungan. Orang tua, guru, dan teman-teman sebayanya merokok sehingga menganggap dengan merokok jadi keren. Kedua, rokok masih dijual di mana saja, dengan mudahnya, tanpa ada larangan. Ketiga, iklan rokok yang semakin banyak, utamanya melalui internet. Sejak sistem sekolah daring akibat pandemi, jumlah anak yang mengakses internet bertambah drastis. Lalu mereka terpapar iklan rokok di media sosial. 

"Tolong belikan aku rokok 2 batang di warung Ibu A," ucap seorang remaja SMP yang memberi perintah kepada anak SD.

Di tempat lain, beberapa anak SD yang sedang berkumpul di kantin sekolah juga membicarakan rokok. "Daripada beli itu mahal-mahal, mending uangnya buat beli rokok," tutur salah seorang anak kepada temannya.

Percakapan pertama saya dengar saat sedang menyapu halaman rumah. Lalu, yang kedua saya dengar ketika menjaga warung di kantin sekolah. Sangat miris dan prihatin. Terlebih ketika diberi penjelasan tentang bahaya rokok, mereka justru berdalih "Bapak saya juga merokok." Makin banyak anak yang secara terang-terangan merokok di tempat umum semakin memperjelas kondisi bahwa saat ini Indonesia benar-benar darurat perokok anak.


Perokok Anak Makin Masif karena Pemerintah Permisif

Indonesia Darurat Perokok Anak

Data Riskesdas Kementerian Kesehatan pada 2013 menyebutkan prevalensi perokok anak mencapai 7,2 persen. Angka tersebut terus mengalami peningkatan pada tahun-tahun berikutnya yaitu menjadi 8,8 persen tahun 2016, 9,1 persen tahun 2018, dan 10,7 persen tahun 2019. Apabila tidak dikendalikan, prevalensi perokok anak diperkirakan akan akan mencapai 16 persen pada 2030.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, prevalensi perokok anak ditargetkan turun menjadi 8,7 persen pada 2024. Angka tersebut kembali tidak akan tercapai apabila pemerintah terus bersikap permisif.

dr. Benget Turnip dari Kementerian Kesehatan pada kesempatan webminar dalam rangka Hari Anak Nasional 2022 yang diadakan oleh Yayasan Lentera Anak (28/6) menyampaikan ada 5 hal yang menjadi penyebab prevalensi perokok anak di Indonesia tidak kunjung turun.

Indonesia Darurat Perokok Anak

1. Peringatan Kesehatan Bergambar di Kemasan Rokok 40 Persen tidak Efektif

Peringatan kesehatan bergambar 40 persen yang tercantum dalam kemasan rokok dinilai tidak efektif untuk memberikan edukasi kepada perokok. Kemudian hal tersebut ditutupi oleh cukai rokok. Seperti yang kita ketahui, cukai rokok menjadi salah satu sumber dana program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dengan demikian, masyarakat menjadi acuh dan tidak takut pada bahaya yang diakibatkan rokok.

Data UNICEF pada 2019 menyebutkan hanya ada 59,4 persen perokok usia 13-15 tahun yang berpikir untuk berhenti merokok karena peringatan kesehatan pada bungkus rokok. Lalu hanya 39,4 persen anak usia 13-15 tahun, bukan perokok, dan berpikir untuk tidak mulai merokok karena peringatan kesehatan pada kemasan.

Saat ini, peringatan kesehatan atau pictorial health warming (PHW) pada bungkus rokok di Indonesia baru 40 persen. Angka tersebut adalah paling kecil dibanding negara Asia Tenggara yang lain. Dikutip dari Tempo, PHW di Vietnam dan Filipina sebesar 50 persen, Malaysia 55 persen, Singapura 75 persen, Myanmar 80 persen, Thailand 85 persen, dan Timor Leste 92,5 persen.

Kementerian Kesehatan terus berupaya untuk mendorong PHW menjadi 90 persen pada bungkus rokok. "Produk rokok yang dikirim ke berbagai negara itu sudah menggunakan PHW 80-90 persen. Kenapa di Indonesia tidak? Kenapa industri rokok tidak mau ikut aturan yang ada di negara kita?" ungkap dr. Benget dalam webminar.

2. Iklan Rokok di Media Sosial Sangat Masif dan Tidak Diatur

Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 belum mengatur perihal iklan di media sosial. Padahal, data BPS hasil Susenas 2020 menyebutkan persentase penduduk usia 5-18 tahun yang mengakses internet sebanyak 25,8 persen. 

Kementerian Kominfo melalui Bapak Anthonius Malau dalam sesi webminar menyampaikan bahwa saat ini pihaknya sulit untuk melakukan pemblokiran terhadap iklan produk rokok yang beredar di media sosial. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya dasar hukum yang melarang iklan rokok beredar di internet. Oleh sebab itu, Kementerian Kesehatan meminta agar revisi PP 109/2012 melarang iklan rokok di media sosial.

3. Prevalensi Perokok Elektrik Naik 10 Kali Lipat

Survei GATS tahun 2021 menunjukkan prevalensi perokok elektrik di Indonesia naik 10 kali lipat dari 0,3 persen pada 2011 menjadi 3 persen pada 2021. Mayoritas yang menggunakan rokok elektrik adalah remaja. Rokok jenis ini juga belum diatur dalam PP 109/2012. Padahal, kandungan dalam rokok elektrik sama bahayanya dengan rokok konvensional.

4. Masyarakat dapat Membeli Rokok Eceran

Salah satu hal yang mendorong anak kecil mulai merokok adalah mudahnya akses untuk membeli produk tersebut. Rokok dijual bebas di mana saja bahkan bisa dibeli per batang. Sehingga anak-anak yang memiliki uang Rp2.000 pun dapat membelinya. Mulai dari dua ribu rupiah, pelan-pelan naik menjadi puluhan ribu rupiah. Tidak ada aturan yang melarang pedagang untuk menjual rokok eceran per batang.

5. Pengawasan PP 109/2012 Kurang Kuat

Menurut dr. Benget, selama ini pengawasan terhadap PP 109/2012 hanya diamanahkan pada Badan POM. Lembaga tersebut ditunjuk untuk mengawasi iklan PHW. Sedangkan rokok elektrik belum ada yang mengawasi. Padahal, pengguna rokok elektrik setiap tahun terus meningkat. Hal tersebut dikarenakan banyak masyarakat terutama anak-anak yang salah persepsi, menganggap bahwa rokok elektrik tidak berbahaya. 

Indonesia Darurat Perokok Anak

Seperti yang diungkapkan oleh Rin, seorang mahasiswa dari Jawa Timur, pada kesempatan webminar dengan Yayasan Lentera Anak. Ketika ditanya oleh moderator Rin merokok atau tidak, ia menjawab bahwa "Sudah berhenti." Saya kira betul-betul tidak lagi merokok, ternyata hanya pindah dari rokok konvensional ke rokok elektrik. 

Menurut Rin kedua jenis rokok tersebut berbeda. "Kalau bagi saya sendiri itu rokok elektrik masih lebih baik daripada rokok konvensional. Yang perlu digaris bawahi lagi, vape itu adalah alat alternatif untuk mereka para perokok yang kecanduan untuk berhenti dari rokoknya itu," ucap Rin pada Pak Azhar selaku moderator.

Di luar sana, saya yakin, masih banyak Rin-rin lain yang memiliki pemikiran sama. Oleh karenya, mari kita sama-sama ketahui dan pahami bahaya rokok konvensional dan elektrik bagi kesehatan.


Bahaya Rokok Konvensional dan Rokok Elektrik bagi Kesehatan

Indonesia Darurat Perokok Anak

Rokok konvensional dan rokok elektrik sama-sama mengandung nikotin. Asap yang dihasilkan dari kedua jenis rokok ini dapat menganggu pernapasan. Dikutip dari Alodokter.com, rokok berbahan baku tembakau mengandung 250 jenis zat beracun. 70 diantaranya bersifat karsinogenik atau dapat menyebabkan penyakit kanker. Asap rokok konvensional mengandung senyawa yang bersifat racun bagi tubuh seperti tar, karbon monoksida, dan hidrogen sianida.

Rokok elektrik juga mengandung zat beracun seperti formaldehida dan asetaldehida yang dapat menyebabakan kanker. Zat perasa dalam rokok elektrik juga ditengarai dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada mulut, tenggorokan, saluran pernapasan, dan saraf.

Beberapa klaim mengatakan asap yang dihasilkan rokok elektrik lebih aman daripada rokok konvensional. Namun beberapa riset mengatakan asap keduanya sama-sama berbahaya bagi kesehatan, terutama untuk ibu hamil dan janinnya.

Selain kanker, rokok juga dapat menyebabkan penyakit paru-paru dan jantung. Selain penyakit tersebut, rokok elektrik ternyata dapat memicu penyakit lain yaitu e-cigarette or vaping product use associated lung injury (EVALI). Gejala yang ditimbulkan adalah sesak napas, batuk, pusing, nyeri dada, dan sakit kepala. Di Amerika Serikat, puluhan orang meninggal dunia karena EVALI.

Kita tentu masih ingat kisah pilu bayi laki-laki bernama Hafizh yang meninggal terkena pneumonia pada 2017. Saat acara akikah, sang bayi terkena paparan asap rokok dari kerabat yang datang. 2 hari setelah itu, Hafizh batuk dan napasnya tersendat-sendat. Orang tuanya pun membawa Hafizh ke rumah sakit. Dokter mengatakan bayi mungil tersebut harus rawat inap karena menderita pneumonia atau radang paru-paru berat. Setelah beberapa hari dirawat kondisinya terus memburuk dan akhirnya Hafizh meninggal dunia. Kisah ini pasti tidak ingin dialami oleh orang tua lain di luar sana. Kami berharap akan ada regulasi yang lebih kuat untuk melindungi anak dari paparan asap rokok.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan di Indonesia ada sekitar 225.700 orang yang meninggal akibat rokok atau penyakit yang berkaitan dengan tembakau setiap tahunnya. Masyarakat tahu bahaya di balik satu batang rokok. Sayangnya, meski dalam keterbatasan ekonomi, banyak orang yang berpendapat bahwa "Lebih baik tidak membeli makanan daripada tidak merokok." 

Sejak pandemi, ekonomi masyarakat begitu terpuruk. Saya kira penjualan rokok akan turun drastis karena masyarakat lebih mementingkan membeli kebutuhan pokok. Ternyata, tidak. Dilansir dari situs Kompas, hasil Susenas BPS tahun 2020 mencatat pengeluaran masyarakat untuk membeli produk tembakau lebih besar daripada belanja beras. Pengeluaran membeli rokok setiap bulan sebesar 5,99 persen sedangkan beras 5,45 persen.

Peningkatan penjualan rokok dipertegas dengan adanya data dari Kementerian Kesehatan yang mengatakan bahwa jumlah penjualan rokok pada 2021 naik 7,2 persen dari tahun 2020 yaitu dari 276,2 miliar batang menjadi 296,2 miliar batang. Bagaimana jika bantuan sosial yang diberikan pemerintah selama pandemi digunakan oleh masyakarat untuk membeli rokok? Sungguh, saya tidak sanggup membayangkan.

Seperti yang tertulis pada narasi pembuka di atas, meski kontribusi cukai rokok pada 2017 mencapai 147,7 triliun, namun negara harus menanggung beban pengeluaran sebesar 531 triliun untuk menangani dampak kesehatan akibat rokok. 

Banyak kerugian yang ditimbulkan dari kebiasaan merokok. Setelah mengetahuinya, masihkah Anda ingin meneruskan kebiasaan merokok? 


Edukasi, Regulasi, dan Kolaborasi untuk Menurunkan Prevalensi

Indonesia Darurat Perokok Anak

Pemberian edukasi terhadap orang tua dan anak, penerbitan regulasi untuk melindungi anak dari paparan asap rokok, serta kolaborasi dari semua pihak diperlukan untuk menurunkan prevalensi perokok anak. Ini bukan demi angka semata. Nyawa anak dan setiap warga dipertaruhkan oleh negara.

Berikut bentuk kepedulian yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan masa depan anak-anak dari ganasnya rokok.

1. Edukasi oleh Orang Tua, Guru, dan Tenaga Kesehatan

Kita sering mendengar kalimat bahwa orang tua adalah madrasah terbaik bagi seorang anak. Ya, di rumah lah pertama kali anak belajar suatu hal. Maka, untuk menurunkan angka prevalensi perokok anak dapat dimulai dari edukasi orang tua ketika di rumah. Pelan-pelan seorang wali harus memberi pemahaman kepada anak terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh rokok. Hal ini bertujuan agar anak tidak tertarik untuk mencoba merokok dan dapat menghindari paparan asap rokok dari orang-orang di sekitarnya.

Kementerian Pendidikan juga dapat memasukkan bahaya rokok ke dalam kurikulum sekolah. Zaman saya sekolah dulu, paling hanya ada sosialisasi sekali-dua kali tentang bahaya rokok. 

Di luar kurikulum, guru dapat melakukan pendekatan dengan murid-muridnya. Terutama pada anak yang sudah mulai merokok. Memberikan gambaran dan pemahaman bahaya rokok jangka panjang. Jika anak masih saja merokok, guru dapat mengenakan sanksi, misalnya tidak naik kelas. Tentu ini dilaksanakan atas kesepakatan bersama. 

Di desa, masih banyak orang tua yang acuh ketika tahu anaknya merokok. Mungkin juga dikarenakan minimnya pengetahuan mereka. Maka, solusinya adalah tenaga kesehatan, misalnya dari puskesmas setempat harus rutin melakukan sosialisasi bahaya rokok kepada orang tua/wali anak. Dengan demikian, pikiran mereka akan lebih terbuka dan dapat menjadi madrasah terbaik bagi anak-anaknya.

Edukasi melalui daring juga dilakukan oleh Kementerian PPPA. Akan tetapi tidak semua orang tua yang tinggal di desa dapat mengaksesnya. Jemput bola adalah solusi yang paling tepat.

2. Larang Iklan Rokok di Seluruh Media

PP 109/2012 harus segera di revisi. Kalau pendapat saya pribadi, iklan rokok bukan hanya harus dilarang peredarannya di media sosial. Akan tetapi pemerintah sepatutnya tegas melarang iklan rokok di seluruh media, tanpa terkecuali. Ini demi kebaikan bersama. Toh pada akhirnya, kebijakan tersebut akan didukung oleh masyarakat, terutama para orang tua yang tidak ingin anaknya menjadi korban keganasan tembakau dan sejenisnya.

Selama ini iklan masih diperbolehkan. Pemerintah hanya mengendalikan dengan cara mengatur jam tayang iklan di televisi, mencantumkan peringatan kesehatan dalam bentuk gambar dan tulisan, atau tidak menampilkan wujud rokok. 

Meski konten iklan tentang rokok di media sosial sudah dibatasi untuk usia 18+, namun banyak anak-anak yang memalsukan usia saat membuat akun email. Ada pula yang mengakses media sosial menggunakan email saudaranya yang berusia di atas 18 tahun. Oleh karena itu, larangan total diperlukan, bukan hanya pembatasan atau pengendalian.

3. Rokok Hanya Boleh Dijual di Toko Tertentu dengan Izin

Penjualan rokok di Indonesia yang masih bisa dilakukan di mana saja, bahkan dengan keliling sekalipun, tentu sangat memilukan. Apalagi, anak-anak dapat membeli rokok per batang. Dalam PP 109/2012 Pasal 25 telah jelas tertulis bahwa setiap orang dilarang menjual produk tembakau kepada anak di bawah usia 18 tahun dan kepada perempuan hamil. Namun faktanya, anak-anak masih dengan mudah membeli rokok. 

Bahkan setelah mengenal internet, mereka membeli rokok secara daring. Seperti cerita yang disampaikan Nurul dalam webminar dengan Yayasan Lentera Anak. Adiknya yang masih di bawah umur membeli rokok elektrik melalui lokapasar. Mengapa ini terjadi? Karena tidak ada pengawasannya. Tidak ada sanksi tegas bagi warga yang melanggar.

Sebaiknya rokok dijual seperti alkohol. Hanya di toko tertentu saja yang memiliki izin dan jauh dari jangkauan anak.

4. Harga Rokok Dinaikkan Minimal Rp100.000 per Bungkus

Beberapa negara seperti Australia, Selandia Baru, dan Inggris berusaha menurunkan jumlah perokok di negaranya dengan menaikkan harga lebih dari Rp150.000 per bungkus. Bahkan di Australia, harga per bungkus rokok hampir Rp300.000. Indonesia harus berani melakukan hal yang sama jika ingin warga negaranya sehat.  Selain harganya dinaikkan, pemerintah juga harus melarang penjualan rokok eceran.

Kalau rokok mahal, nanti tidak ada yang beli. Bagaimana nasib petani tembakau? Para petani bisa beralih menanam produk pertanian lainnya. Atau, tetap menanam tembakau dengan syarat produsen menjual rokoknya ke luar negeri saja. 

5. Negara Melarang Seluruh Guru dan ASN Merokok

PP 109/2012 pasal 46 melarang setiap orang menyuruh anak di bawah usia 18 tahun untuk menjual, membeli, atau mengonsumsi produk tembakau. Kenyataannya di lapangan berbanding terbalik. Masih banyak orang tua, kakak, bahkan guru di sekolah yang memerintah anak untuk membeli rokok di warung. Saya sering menjumpai hal tersebut karena dulu orang tua saya juga jualan rokok. 

Sungguh merisaukan apabila kita melihat guru yang meminta tolong kepada muridnya untuk membeli rokok. Atau saat ada ASN mengajak anak SMK yang sedang Praktik Kerja Lapangan (PKL) di instansinya untuk merokok bersama. Ini sepertinya sudah menjadi rahasia umumnya, ya. Karena pelanggaran tersebut banyak dilakukan di daerah-daerah.

Sanksi tegas harus dilakukan pemerintah jika negara memang serius ingin melindungi masa depan anak-anak. Larangan merokok bagi orang dewasa bukan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Ini adalah bentuk kecintaan negara pada rakyatnya. Akan sulit bagi pemerintah untuk langsung melarang seluruh orang dewasa di Indonesia agar tidak merokok. Maka, larangan tersebut dapat dimulai dari guru dan ASN. Beri sanksi tegas jika mereka melanggar. Misalnya dengan tidak menaikkan pangkat yang bersangkutan jika masih merokok. Apakah bisa? Pasti bisa. Harus optimis bisa!

6. Buat Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Rumah

Potret Ruang Tamu dengan Imbauan agar Tidak Merokok

Jika kita masih sulit menemukan KTR di luar rumah, maka cara terbaik untuk membantu pemerintah menurunkan prevalensi perokok anak, serta melindungi anak-anak kita dari paparan asap rokok adalah dengan membuat KTR sendiri di rumah. 

Sudah dua bulan ini, saya memasang tulisan "Dilarang Merokok" di tembok rumah. Dari dulu saya memang tidak suka ada orang yang merokok di dalam rumah, meskipun Bapak saya sendiri. Sejak Bapak divonis dokter terkena Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) yang diakibatkan oleh kebiasaan merokok selama puluhan tahun, akhirnya saya memberlakukan KTR di rumah sendiri.

7. Batasi dan Awasi Penggunaan Smartphone oleh Anak

Sekolah daring saat pandemi membuat anak-anak kebablasan dalam menggunakan telepon pintar. Mereka memakai handphone bukan hanya untuk belajar, namun juga untuk bermain game online dan mengakses berbagai media sosial. 

Untuk itu, orang tua perlu melakukan pembatasan. Cukup berikan telepon genggam saat anak-anak belajar. Lalu, awasi penggunaannya. Dengan demikian, mereka tidak dapat mengakses hal-hal yang dilarang, termasuk informasi seputar rokok.

Menurunkan prevalensi perokok anak tentu bukan hanya tugas pemerintah saja. Namun tugas kita bersama. Indonesia saat ini memang sedang darurat perokok anak. Dengan pemberian edukasi, pembaruan regulasi, serta kolaborasi diharapkan dapat menurunkan prevalensi.

Yuk, sama-sama kita jaga masa depan anak. Anak terlindungi, Indonesia maju!


***

Referensi:

[1] Unicef Indonesia. 2021. Profil Remaja 2021. https://www.unicef.org/indonesia/media/9546/file/Profil%20Remaja.pdf diakses tanggal 14 Agustus 2022 pukul 07.49 WIB.

[2] Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2019. Hasil Utama Riskesdas 2018. https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-riskesdas-2018_1274.pdf diakses tanggal 14 Agustus 2022 pukul 08.25 WIB

[3] Delapan Koma Tujuh. Data dan Infografis. https://delapankomatujuh.org/infographic-statistics

[4] Kementerian Kesehatan. 2022. Perokok Anak Masih Banyak, Revisi PP Tembakau Diperlukan. https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20220729/4940807/perokok-anak-masih-banyak-revisi-pp-tembakau-diperlukan/#:~:text=Prevalensi%20perokok%20anak%20terus%20naik,hingga%2016%25%20di%20tahun%202030 diakses tanggal 16 Agustus 2022 pukul 09.00 WIB.

[5] WHO. 2020. Pernyataan: Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2020https://www.who.int/indonesia/news/detail/30-05-2020-pernyataan-hari-tanpa-tembakau-sedunia-2020 diakses tanggal 16 Agustus 2022 pukul 10.10 WIB

[6] CNBC Indonesia. 2021. Riset: Rugi Negara Lebih Besar Ketimbang Untung dari Rokok! https://www.cnbcindonesia.com/news/20210812161438-4-268044/riset-rugi-negara-lebih-besar-ketimbang-untung-dari-rokok diakses tanggal 16 Agustus 2022 pukul 10.23 WIB

[7] Tempo. 2020. Kementerian Kesehatan: PHW 90 Persen pada Rokok Bisa Tercapai. https://gaya.tempo.co/read/1362243/kementerian-kesehatan-phw-90-persen-pada-rokok-bisa-tercapai diakses pada 16 Agustus 2022 pukul 10.44 WIB

[8] Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan

[9] Badan Pusat Statistik. 2020. Persentase Penduduk Usia 5 Tahun ke Atas yang Pernah Mengakses Internet dalam 3 Bulan Terakhir Menurut Kelompok Umur (Persen), 2018-2020. https://www.bps.go.id/indicator/2/840/1/-persentase-penduduk-usia-5-tahun-ke-atas-yang-pernah-mengakses-internet-dalam-3-bulan-terakhir-menurut-kelompok-umur.html diakses pada 16 Agustus 2022 pukul 14.50 WIB

[10] Alodokter. 2021. Mana yang Lebih Sehat, Rokok Elektrik atau Rokok Tembakau? https://www.alodokter.com/mana-yang-lebih-sehat-rokok-elektrik-atau-rokok-tembakau diakses tanggal 16 Agustus 2022 pukul 16.15 WIB

[11] Webminar Yayasan Lentera Anak dalam Rangka Memperingati Hari Anak Nasional 2022 (28/6)

Posting Komentar

30 Komentar

  1. Duh, enggak ada alasan lagi sebenarnya mempertahankan peredaran rokok, ya. Biaya penutupan pabrik rokok pasti lebih murah daripada masa depan seluruh generasi kita

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Mbak. Mempertahankan rokok lebih banyak rugi daripada untungnya.

      Hapus
  2. yang ngeri tuh sebenernya bapak2 yang ngerokok di depan anak dan istri mba, ga habis pikir aku tu, malah ada yang sambil gendong bayi

    BalasHapus
  3. ngeri banget sih ini, para perokoknya juga emang harus sadar jangan ngerokok di depan anak anak biar nggak di tiru huhuhu,

    BalasHapus
  4. iya mba, memang angkanya terbilang gede dan malah banyak juga pastinya yang ga terdeteksi.. kalau di desa2 gitu aku lihat ya lumrah aja gitu perokok anak :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Mbak. Banyak anak-anak yang merokok di tempat umum.

      Hapus
  5. Sedih banget pas baca percakapan anak SMP minta beliin rokok ke anak SD :( serasa flashback ke masa lalu saat guru di sekolahku malah merokok di ruang guru dan bahkan di kelas :( setega itukah tenaga pendidik kita... padahal mereka seharusnya mencontoh yang baik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya Allah. Bisa-bisanya guru merokok di kelas. :(

      Hapus
  6. Miris memang kalau berbicara tentang rokok itu, masalahnya memang rumit juga karena di satu sisi rokok memberikan cukai yang besar. Padahal dampaknya bisa lebih mahal tapi yaitu pemegang kebijakan hanya melihat keuntungannya semata...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cukai besar tapi dampaknya lebih besar, Mbak. Mending nggak usah ada rokok sih ini.

      Hapus
  7. Dengan fakta yang dibeberkan, sebagai orangtua harus memberikan edukasi dan pengasuhan yang benar bagi anak. Jangan sampai kejadian udah terlanjur, baru menyesali. Karena berawal dari rokok dan bisa jadi berlanjut ke lainnya (masalah kesehatan dan masa depan) ananda.

    Bagaimanapun, memilihkan lingkungan yang baik bagi anak sebagai tempat bertumbuh adalah barikade awal orangtua dalam membentuk karakter anak.

    BalasHapus
  8. sedih ya mba klau lihat fakta ini.. kita harus pastikan anak - anak terlindungid ari bahaya rokok

    BalasHapus
  9. Darurat rokok banget ya mbak apalagi lihat persentase anak di bawah umur yg masih banyak merokok.
    Tren rokok elektrik juga mulai banyak diminati anak muda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak Arda. Rokok elektrik meningkat terus nih. Huhu

      Hapus
  10. Aku pernah ke cafe, jam2 anak pulang sekolah gitu. Terus dateng serombongan anak sekolah dan mereka otomatis nyalain rokok :(

    Bahkan ada yg "pake" rokok temennya juga huhuhu, banyak yg bekum terdeteksi kayaknya ya mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banyak banget yang kaya gitu, Mbak. Miris banget, yaa. Ya ampun. :(

      Hapus
  11. saya yakin edukasi dan regulasi dan juga kolaborasi dengan seluruh pihak bisa membantu menurunkan prevalensi ini mba. it's a painful process as tobacco is a huge business in this country

    BalasHapus
  12. Duh, statistiknya kok bikin serem gitu yaaah. Tapi emang di sekitar komplek rumah aku juga suka mergokin anak2 SMP pada udah berani ngerokok lho, udah gak ngumpet2 lagi. Suka gemes sih lihatnya. Semoga ada regulasi yang bisa menekan angka tersebut yaaah, butuh peran kita semua juga sih sebagai orangtua, minimal mengawasi anak2 kita yaaah

    BalasHapus
  13. Sedih banget kalau masih anak-anak udah merokok. Memang cara belinya juga mudah banget, sih. Anak yang beli rokok dianggapnya disuruh orangtua. Padahal bisa jadi dikonsumsi sendiri

    BalasHapus
  14. Aku setuju sama regulasi “rokok hanya dijual di toko tertentu” kalo bisa syarat belinya harus pake KTP. Miris banget dengan bebasnya anak2 beli rokok di warung. Terus ngerokoknya jg ga ngumpet2 ya, bener2 dirasa biasa aja gitu sama mereka..heran.

    BalasHapus
  15. Kadang miris melihat anak kecil merokok malah jadi trending beritanya. Harusnya hal semacam ini jangan sampai dipublikasikan supaya tidak dicontoh orang lain. Apalagi saat ini rokok dijual bebas, bahkan sebagai orang tua kita tidak bisa mengawasi anak 24 jam. Memang butuh edukasi tentang bahaya merokok kepada anak. Kalau perlu rokok jangan dijual bebas di toko-toko kelontong. Supaya anak2 tidak coba2 merokok yang akhirnya membuat mereka ketagihan.

    BalasHapus
  16. aku setuju tuh untuk menaikkan harga rokok. setidaknya kalau mau beli, jadi berpikir ulang ya.. hehe..

    BalasHapus
  17. Sedih ya kalau melihat anak kecil sudah merokok. apalagi sekarang rokok elektrik jadi semacam perubahan bahwa lebih baik dari pada klasik. Padahal ya bahaya juga untuk tubuh. Semoga dimulai dari lingkungan kecil bisa merubah saling mengingatkan dan menasehati jika ada anak kecil merokok.

    BalasHapus
  18. Setuju, semuanya, terutama orang tua dan org2 di sekitar anak, seharusnya beraksi demi menurunkan bahkan menghilangkan prevalensi perokok anak. Jangan sampai deh masa depan anak jadi terhambat karena merokok. Naudzubillah

    BalasHapus
  19. Sekarang tuh, hal-hal semacam merokok ini jadi sudah dianggap wajar gitu yaa..
    Miris sekali kalau anak-anak zaman sekarang sudah mengenal bahkan kecanduan dengan rokok.
    Hal yang bisa kita lakukan sebagai orangtua, kudu upgrade ilmu agar bisa "dekat" dengan anak ketimbang iklan-iklan yang menjanjikan keburukan itu.

    BalasHapus
  20. Sedih kalau liat anak anak dibawah 17 tahun misalnya, ngerokok dengan santainya.
    Aku udah pasti mikirnya, nih anak karena pengaruh lingkungan, baik dari temen temennya sendiri gitu dan minimnya pengawasan orang tua

    BalasHapus
Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)